Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.1

by VERSUS


KISAH DI DESA

"Kriiiiinggg!!!!", jam weker jadul di dekat ranjangku berbunyi nyaring sekali, sampai-sampai aku setengah meloncat dari ranjang saking kagetnya. Padahal jam tua itu sudah cukup lama menghuni kamarku, tapi setiap kali berbunyi, aku selalu terbangun dalam keadaan kaget. Ya, meskipun jam tua yang masih analog, tapi jauh lebih efektif ketimbang jam alarm moderen yang bunyinya sudah kayak ringtone hape. Ku tatap di sebelah kiriku, istriku masih terlelap seolah tak peduli dengan berisiknya suara weker tadi.

"Dik, bangun... sudah jam 5 subuh nih", ku guncang pelan tubuh istriku, "Abang musti siap-siap, nanti ketinggalan kereta ke Jakarta".

Dengan setengah enggan istriku membalikkan badan lalu mengucak-ngucak matanya yang seperti masih terlalu berat untuk dibuka kelopaknya. Maklum, semalam ia tidur sudah lewat tengah malam, setelah selesai membenahi pakaianku dan barang-barang lain dalam tas ransel yang akan aku bawa ke Jakarta.

"Bang, maaf... aku ketiduran...", sahut istriku sambil berusaha beranjak dari ranjang. "Abang siap-siapa aja, nanti aku rebus air panas untuk abang mandi, biar tidak masuk angin."

Marni, demikian nama istriku yang ku nikahi 3 tahun lalu. Kami sudah dikaruniai seorang anak laki-laki, si Bayu namanya. Usianya sudah hampir 2 tahun. Aku dan Marni serta Bayu tinggal di desa. Letaknya agak terpencil di daerah Cirebon. Meskipun itu adalah desa asal si Marni, tapi kami tidak tinggal serumah dengan orangtuanya. Pernikahan kami kurang mulus sebab orangtua Marni tidak setuju ia menikah dengan orang biasa-biasa seperti aku. Mereka menginginkan Marni menikah dengan anak seorang juragan kaya di desa itu, untuk menaikkan derajat dan perekonomian keluarganya. Namun Marni lebih memilih aku. Ia menentang kemauan orangtuanya. Alhasil, kami terpisah dari orangtuanya. Untunglah salah seorang paman Marni sangat baik kepada kami, sehingga kami diperkenankan tinggal di rumahnya, sekaligus untuk ditunggui, sebab pamannya itu menetap dan bekerja di Semarang, dan rumahnya di desa dalam keadaan kosong.

Penghasilanku sebagai seorang petani sangatlah kecil. Mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sementara tuntutan hidup sudah semakin membengkak. Apalagi anakku sudah semakin besar, dan tentunya tidak lama lagi bayu akan masuk usia sekolah. Sebagai lelaki dan kepala rumahtangga, aku malu kalau istriku sampai harus jadi tukang cuci baju di rumah tetangga demi menambah penghasilan keluarga. Apalagi sindiran sinis dari keluarganya yang tidak hanya memanaskan kupingku, tapi juga membuat hatiku sakit. Makanya suatu hari ketika seorang mantan teman SD-ku, Arif namanya, menceritakan kesuksesan hidupnya di Jakarta, aku benar-benar tertarik. Sebelum kembali ke Jakarta pekan lalu, Arif meninggalkan nomor hapenya. Barangkali aku tertarik menyusulnya, aku bisa mengontaknya setelah tiba di Jakarta. Setelah beberapa hari berunding, akhirnya Marni setuju aku merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Nanti setelah aku sukses, barulah Marni dan Bayu akan menyusul ke Jakarta.

"Hati-hati di jalan, Bang! Dan jangan lupa mengirim kabar ya?", ucap Marni lirih sembari mencium tanganku, ketika ia mengantarku ke depan rumah. Di sana telah menunggu Bang Tejo, sopir ojek yang akan mengantarku ke stasiun kereta api.

"Kamu juga, Marni... Jaga anak kita baik-baik ya!", aku memeluk Marni lalu mencium keningnya. Mata kami berkaca-kaca. Maklumlah, selama hidup sebagai suami istri, baru saat ini kami akan terpisah jarak sangat jauh dan cukup lama. Sebelumnya aku juga sudah mencium pipi anakku yang masih terlelap di kamar. Aku sengaja tidak membangunkannya, sebab kalau Bayu tahu aku akan pergi, dia pasti menangis.

MERANTAU KE JAKARTA

Aku terbangun mendengar hiruk pikuk para penumpang kereta api yang mulai sibuk mengambil barang-barang mereka. Rupanya kereta yang ku tumpangi telah hampir tiba di tujuan. Saat menoleh ke luar jendela, tampak Stasiun Senen telah di depan mata. Aku pun berdiri dan mengambil tas ranselku. Begitu kereta berhenti, para penumpang berbondong-bondong keluar dari gerbong. Aku hanya mengikuti arus orang-orang itu saja, sebab aku sama sekali belum pernah ke Jakarta.

"Mas permisi", aku menyapa seorang pemuda yang sedang berdiri di depan peron. "Mas tahu alamat ini?" Segera ku tunjukkan secarik kertas yang ditinggalkan Arif. Di situ ada nama, alamat dan nomor hape-nya.

"Wah, daerah Cempaka Putih sih dekat, Mas, tapi luas banget! Di Jakarta alamatnya harus lengkap dan jelas. Nah, ini ada nomor hapenya. Ditelpon aja temannya itu", jawab sang pemuda.

"Hmm... bagaimana cara meneleponnya?", tanyaku agak kikuk. Maklumlah, jangankan hape, telepon rumah (Telkom) aja belum masuk ke desaku.

"Yaaa, Mas kudu beli hape juga dong. Atau bisa telepon dari Wartel. Itu, nggak jauh dari sini", ucapnya sambil menunjukkan tempat di mana aku bisa menelpon si Arif.

"Terima kasih ya Mas!", akupun berlalu mencari tempat menelpon itu.

Setelah dibantu oleh penjaga Wartel, aku bisa berhubungan dengan Arif via telepon. Arif menyuruhku untuk tetap diam di situ sampai ia tiba. Sebab katanya kalau aku berpindah tempat nanti dia sulit menemukanku dan aku bisa saja nyasar. Jadi ku tunggui Arif di situ, sambil menghabiskan sisa makanan yang disiapkan oleh Marni dalam tas ranselku. Sebagian lagi sudah ku makan ketika masih dalam perjalanan kereta api.

"Triyo...", Arif menepuk pundakku dari belakang. Akhirnya muncul juga dia setelah hampir sejam ku tunggu. "Maaf, jalanannya macet banget.", ujar Arif sambil terengah-engah. Peluhnya cukup banyak di wajah dan lehernya.

"Rif, ku kira kamu gak bakalan muncul", ucapku dengan perasaan senang. Maklumlah, aku tadinya sudah sempat khawatir, bagaimana jika Arif gak muncul juga? Padahal aku sama sekali masih asing di kota ini. Entah apa yang harus ku lakukan. Dengan girang aku merangkul Arif.

'Sudah, sudah... ayo kita langsung ke kosanku. Di sini tempatnya agak rawan", sahut Arif sambil mengambil tas ranselku. "Ini tas jangan digeletakin begitu aja, nanti diembat orang!", sambungnya.

Aku agak bingung juga. Buat apa oang mengambil ransel bututku yang isinya hanya pakaian aja? Maklum, sebagai orang desa, aku belum sadar kalau di Jakarta itu segala hal bisa terjadi. Dan belakangan dari Arif aku tahu bahwa hampir setiap saat ada aja barang penumpang yang hilang.Ternyata Jakarta memang kejam.

Tempat kost Arif hanyalah sebuah kamar ukuran 3x3 meter. Agak pengap, dan hanya ada sebuah kipas angin kecil untuk menyejukkan udara. Tidak ada ranjang, hanya sebuah kasur yang tampaknya sudah mulai menipis. Untung saja lantainya dialasi semacam karpet plastik. Jadi kami bisa selonjoran di lantai. Gambarannya jauh dari perkiraanku, sebab Arif sebelumnya bercerita di desa bahwa ia cukup sukses di Jakarta. Aku pikir, setidaknya dia sudah ngontrak rumah sendiri. Namun demikian, aku harus bisa menerima apa adanya. Sudah sukur si Arif mau bantu, jadi aku gak berani berkomentar macam-macam.

"Kecil ya?", tanya Arif tatkala melihatku sedang memperhatikan isi kamarnya. "Maklum aja, kamar segini pun sewanya sudah 400ribu sebulan", ucapnya. Aku kaget juga. kalau di kampung, uang segitu sudah bisa beli macam-macam.

"Gak apa-apa sih, Rif", sambutku, "Kamu sudah mau terima aku di sini juga sudah lebih dari cukup kok, daripada aku harus tidur di tepi jalan".

Arif tersenyum-senyum.

"Nah, gitu dong! Prinsipku, yang penting aku bisa nabung banyak untuk dibawa ke kampung. Kalau di Jakarta sih hemat-hemat aja. Toh juga aku jarang di kosan. Hanya buat tidur aja. Kalau lagi kerja, aku seharian di luar", jelasnya panjang lebar.

Aku ingin menggali lebih jauh tentang pekerjaannya, tapi badanku masih terlalu letih saat itu. Jadi, aku hanya duduk manis saja dan mendengar ocehan Arif. Sampai beberapa saat kemudian dia sadar bahwa aku perlu waktu untuk istirahat dulu setelah perjalanan panjang nan melelahkan.

AWAL YANG ANEH

2 hari sudah aku berada di Jakarta, tapi Arif sama sekali belum menyinggung tentang masalah pekerjaan untukku. Arif bangun agak siangan, sekitar jam 10. Lalu pergi kerja menjelang siang, dan kembali setelah tengah malam. Akupun mulai bertanya dalam hati, kira-kira pekerjaan macam apa yang pola jamnya seperti itu? Namun aku belum berani bertanya langsung kepada Arif. Pikiranku masih tertuju nun jauh ke desa, ke istri dan anakku yang ku tinggalkan di sana. Rindu menumpuk, tapi aku harus bisa bersabar. Toh ini juga demi masa depan mereka. Aku isi waktu senggang dengan menulis sepucuk surat untuk istriku, mengabarkan bahwa aku sudah tiba dengan selamat di Jakarta. Agar Marni tidak merasa khawatir terhadap keberadaanku.

Saat Arif kembali ke kosan malam itu, aku menguatkan diriku untuk memulai percakapan tentang pekerjaanku nantinya. Sebab aku tidak mau hanya berleha-leha di kamar kostnya sementara istri dan anakku berharap banyak dariku di desa.

"Rif, maaf, aku bisa tanya sesuatu gak?", ucapku perlahan membuka percakapan.

"Oh iya, ada apa Yo?", tanyanya.

"Begini Rif, aku kan sudah beberapa hari di sini. Gak enak sama kamu kalau aku hanya makan tidur saja di kosanmu. Jadi, kalau gak keberatan, bisa tahu kapan kira-kira aku bisa dicarikan pekerjaan?"

'Sabar ya Triyo. Aku memang agak sibuk 2-3 hari ini. Tapi pasti aku bantu. Masalahnya, kamu sudah siap lahir bathin gak, Yo?", Arif menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Kalo siap, ya udah kepalang basah. Aku sudah jauh-jauh ke Jakarta. Gak mungkin aku pulang ke desa dengan tangan kosong. Pekerjaan apa sajalah, yang penting aku bisa mengumpulkan uang secepatnya", sambutku.

"Benar kamu mau kerja apa saja?", tantangnya.

'Iya Rif... Aku benar-benar sudah muak jadi orang miskin. Sampai harus dihina sama keluarga istriku. Aku harus buktikan sama mereka bahwa aku juga bisa punya uang. Apapun resikonya", aku tekankan tekad bulatku untuk bekerja di Jakarta kepada Arif.

"Oke, oke... tapi ingat, ini pilihanmu. Jadi jangan salahkan aku belakangan hari", tukas Arif.

"Tenang aja. Aku gak akan menyalahkanmu apapun yang terjadi. Pokoknya aku harus kerja dan dapat uang", sambutku sambil menepuk pundak Arif.

"Baklah Yo. Sekarang coba kamu buka pakaianmu", kata Arif. Aku agak bingung juga, namun aku menuruti saja apa yang diminta Arif. Ku buka semua kancing dan menanggalkan kemejaku. Sikap Arif sepertinya masih menunggu. Arif memberi kode ke arah celanaku dengan jari telunjuknya. Aku tambah bingung, mungkin maksudnya celana panjangku juga harus dibuka. Walaupun masih tidak mengerti, aku turuti saja. Ku buka celana panjangku sehingga tersisa celana dalam yang membaluti tubuhku. Otot-ototku tampak basah oleh peluh, sebab kamar kost si Arif memang panas sekali.

"Nah, kayaknya kamu sangat memenuhi syarat. Tapi coba buka semuanya. Aku hanya ingin tahu apakah kamu benar-benar cocok untuk kerja", sambung Arif. Aku sejenak berpikir, mungkin tuntutan pekerjaan yang akan diberikan padaku ialah harus sehat dan bersih. Meskipun aku orang kampung, tapi aku paling paham namanya kebersihan tubuh. Aku rajin mandi dan tidak berpenyakit kulit.Jadi, nyantai aja aku buka celana dalamku. Toh sama-sama lelaki, dan pintu kamar Arif tertutup. Arif memandangiku,dan memintaku untuk memutarkan badan 360 derajat.

"Hmm... baiklah. Untuk sementara penilaianku oke. Ga ada masalah. Tapi kamu perlu memahami terlebih dahulu pekerjaanmu nanti. Besok kamu ikutan aku ya! Sekarang, pakai lagi semua pakaianmu. Kamu harus istirahat supaya ada stamina", kata Arif.

TERCENGANG DENGAN APA YANG KU LIHAT

Keesokan pagi, aku telah bangun sekitar jam 6. Tidak sabar rasanya diriku, ingin segera mendapatkan pekerjaan. Namun aku harus menahan diri, menunggu Arif bangun seperti biasanya, sekitar jam 10. Ketika Arif bangun, aku telah mandi dan mengenakan pakaian yang agak bagusan, walaupun itu mungkin menurut ukuran orang kampung. Arif segera mandi lalu ganti pakaian. Ia mengenakan setelan jeans dan kaos putih kerah tinggi. Gayanya sudah benar-benar seperti orang kota. Berbeda jauh denganku. Aku ingin meniru gaya berbusananya, tapi kata Arif tidak perlu. Aku bisa tampil apa adanya, gak apa-apa kelihatan kayak orang udik. Seperti biasa, aku menurut saja.

Taksi yang ditumpangi Arif dan aku berhenti di depan sebuah hotel dekat Tugu Tani, sepertinya tidak jauh dari daerah Senen, setelah sebelumnya taksi itu dihetikan untuk diperiksa oleh petugas di gerbang masuk. Ku lihat Arif mengeluarkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk membayar taksi itu. Mungkin lebih setengah dari ongkos kereta api kelas ekonomi dari kampungku ke Jakarta. Aku tidak banyak bertanya. Ku ikuti saja Arif masuk ke lobi hotel. Di pintu masuk lobi pun kami masih harus diperiksa. Setelah itu aku mengikuti Arif masuk ke sebuah pintu, dalam ruangan kecil berbentuk kotak. Belakangan baru aku tahu kalau itu yang namanya lift atau elevator. Aku sudah pernah melihatnya di sinetron tv, tapi baru sekarang aku menggunakannya secara langsung. Ternyata asik juga, tidak perlu capek-capek naik tangga ke lantai 7, tempat tujuan kami.

Di depan sebuah pintu kamar, Arif menekan sebuah tombol, lalu pintu itu terbuka. Dari baliknya muncul seorang bapak, agak gemuk, mungkin umurnya sekitar 50 tahun. Bapak itu tersenyum lebar melihat Arif, tanpa banyak tanya, sang bapak memberi kode agar kami berdua segera masuk.

"Wah, dik Aldo... akhirnya datang juga. Om sudah tunggu sejak 30 menit lalu. Kirain gak jadi ke sini.", sapa si Bapak. Aku kaget juga, kok si bapak menyapa Arif dengan nama Aldo? Tapi seperti biasa, aku berusaha menyimpan keterkejutanku.

"Maaf Om Dewa, tadi sih sudah buru-buru. Tapi nunggu taksinya agak lama dari depan rumah.", jawab Arif. Wah, ini bohong juga, pikirku dalam hati. Rasanya tadi begitu kami keluar dari gang kosan si Arif, langsung dapat taksi kok. Tapi apa peduliku. "Oh iya om, hampir lupa. Ini temanku, Troy. Baru datang dari daerah.", sambung Arif. Sekali lagi aku bingung, kok Arif ngenalin aku dengan nama Troy? Wah, wah... apa mungkin kalo di Jakarta orang-orang harus ganti nama ya? Yowiz, ikutin aja ke mana air mengalir. Aku tersenyum sendiri.

"Oh, dik Troy... ganteng juga ya!", sambut Om Dewa sambil menyalami tanganku. Aku masih kikuk, dan itu kelihatan banget sama Om Dewa.

"Maklum om, masih berondong, casing orisinil... hehehe", celetuk si Arif, yang disusul dengan ketawa kecil Om Dewa. Apapun juag artinya itu, yang pasti aku paham bahwa Arif sedang memberikan pengenalan tentang diriku kepada Om Dewa.

"Umurnya berapa, dik Troy?", tanya Om Dewa kepadaku.

Belum sempat aku menjawab, Arif sudah memotong, "Baru 20 tahun, Om! Troy baru lulus SMU tahun kemaren di daerah. Pacaran aja belum pernah, Om."

Untuk kesekian kalinya aku terheran. Arif tahu persis bahwa umurku sudah 25 tahun, dan aku sudah punya anak istri. Hm, mungkin salah satu syarat kerja iaah batas usia 20 tahun dan belum menikah, pikirku. Tapi gimana nanti kalo aku akan melamar dan sudah harus menunjukkan KTP? Kalo ketahuan bohong, bisa gak dapat kerja nih! Tapi, ah... itu urusan Arif. Aku yakin dia tahu persis apa yang dia lakukan.

"Mmm, tapi om, si Troy ini benar-benar belum bisa apa-apa... Aku ajak dia ke sini supaya dia bisa belajar. Jadi gak apa-apa ya kalo dia nonton aja kali ini? Aku janji, nanti om yang pertama, ok?" lanjut Arif.

Om Dewa tidak menjawab, hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya masih tertegun melihat ke arahku. Aku hanya diam, mungkin karena masih rada bingung. Tapi beberapa saat kemudian, aku kebingunganku makin bertambah. Aku tercengang melihat apa yang terjadi di depan mataku. Tiba-tiba saja Arif dan Om Dewa berpelukan di depanku! Wah, kayak suami istri pokoknya! Mulutku ternganga tatkala kemudian ku lihat mulut mereka beradu.... saling ciuman! Wah, wah, apa yang sebetulnya terjadi? Kenapa si Arif bersikap begitu? Bukankah.... mereka sama-sama pria?

Ketercenganganku belum juga hilang, kala lu lihat adegan mereka berdua berlanjut. Aku hanya bisa terduduk di kursi dekat meja rias, saat mereka mulai bergelut dan menjatuhkan diri ke atas ranjang. Sungguh aku tidak percaya dengan pemandangan mataku sendiri. Aku hanya menyaksikan nyaris tanpa berkedip. Om Dewa dengan ganasnya menyergap si Arif. Pakaian Arif dibukanya satu per satu, lalu pakaiannya sendiri. Sampai akhirnya mereka berdua benar-benar tidak berbalut sehelai kain pun. Sebagai orang yang telah menikah, tentunya hubungan badan bukanlah hal yang aneh bagiku. Tapi itu ku lakukan dengan isteriku, bukan dengan orang lain, apalagi sesama jenis. Aku seperti tersambar petir atau listrik ribuan volt!

Setelah sedikit reda dari kekagetan, aku mulai memperhatikan apa yang terjadi di atas ranjang. Om dewa mencium bibir dan dagu arif. Lalu perlahan turun sampai ke putingnya. Lidahnya menyambar-nyambar putingnya Arif. Bahkan mungkin adegan aku dan istriku di kamar tidak sehebat itu. Aku semakin tertegun tatkala ku lihat Om Dewa meluncur ke bawah, ke arah perutnya Arif, lalu terus sampai ke daerah kemaluannya. Diisapnya kontol Arif yang sudah mengeras, seperti anak kecil yang sedang menikmati es lilin. Nafasnya memburu, Arif pun merintih-rintih ringan seperti orang yang sedang di puncak nikmat. Selang beberapa saat kemudian, giliran Arif menjilati tubuh Om Dewa dari atas hingga ke bawah. Adegan es lilin tadi berulang kembali, tapi kali ini si Arif yang mengisap punya Om Dewa. Mereka berdua sangat bernafsu. Bahkan mereka tidak peduli ada aku di situ, tentunya dengan sejuta kebingungan.

Setelah sekian lama saling mengisap dalam posisi terbalik, Om Dewa berdiri dan meraih sesuatu dari atas meja kecil di samping ranjang. Itu adalah sebuah kondom karet dan sebuah benda lain yang bentuknya seperti tube pasta gigi. Om Dewa memencet tube itu sampai keluar cairan bening, lalu dioleskannya ke (maaf) lubang duburnya Arif. Jarinya dimain-mainkannya di selangkangan Arif. Tampak Arif menggeliat-geliat. Selama beberapa saat kemudian, Om Dewa mengenakan kondom di kemaluannya. Lalu ia mengangkat kedua paha Arif. Ya ampun! Batang kemaluannya itu dimasukkan ke dalam lubang dubur Arif! Sekilas terlihat Arif seperti meringis kesakitan, tapi hanya beberapa saat, setelah itu ekspresinya berubah lagi seperti sedang menikmati sesuatu. Om Dewa melakukan gerakan maju mundur. Arif memejamkan matanya, tapi rautnya tampak tersenyum. Dengan tetap melakukan gerakan tadi dengan pinggulnya, Om Dewa mendekatkan wajahnya ke wajah Arif. Bibir dan lidah mereka bergulat. Sampai tiba-tiba pinggul Om Dewa mengejang, gerakannya berhenti. Pinggulnya dibenamkan di antara kedua paha Arif dalam-dalam, dan...

"Aaaaaggghhh.....", Om Dewa menjerit perlahan. Tubuhnya agak gemetar. Setelah itu tekanannya mengendor. Dicabutnya kemaluannya dari dubur Arif. Sementara itu Arif sibuk mengocok-ngocok kemaluannya sendiri. Main lama makin cepat gerakan tangannya.

'Aaaaahhhhh....", sama seperti Om Dewa tadi, Arif pun mengerang. Ku lihat Om Dewa menyergap kemaluan Arif dengan mulutnya, sampai cairan mani Arif tersemprot ke dalam rongga mulutnya.

Aku gak tahan lagi, adegan itu tiba-tiba membuatku mual. Aku segera lari ke kamar mandi. Aku muntah di wastafel.

"Hueek, hueek....", suaraku terdengar sampai ke ranjang. Tapi mereka sepertinya tidak peduli. Segera ku cuci wajahku dengan air dan merapikan rambutku. Aku berusaha untuk bersikap wajar dan kembali ke tempat duduk dekat meja rias. Om Dewa dan Arif yang saat itu telah dalam posisi berpelukan di atas ranjang, menatapku sambil tersenyum-senyum saja.

"Kenapa dik, muntah ya?", tanya Om Dewa dengan nada seperti menggoda.

"Iya om, sepertinya aku masuk angin", kilahku untuk mencegah ketersinggungan mereka akibat rasa jijikku tadi.

"Hehehe... gak apa-apa kok. Nanti juga terbiasa.", sambung Om Dewa sambil tertawa kecil. Mereka kemudian beranjak ke kamar mandi. Aku tetap duduk di kursi. Terdengar suara keran air mengguyur, seperti pancuran di desaku. Mereka mandi bersama sambil sesekali terdengar tertawa. Aku pun sadar, ternyata inilah pekerjaan Arif di Jakarta selama ini. Rupanya Arif adalah seorang lelaki pelacur. Aku sudah tahu apa yang namanya pelacur, sampai di daerah pun ada kok, tapi yang namanya pelacur kan perempuan? Baru sekarang aku tahu kalau ternyata lelaki pun bisa jadi pelacur di Jakarta. Aku lihat Om Dewa memberi Arif uang cukup banyak, sampai beberapa ratus ribu. Sungguh aku tidak menduga sebelumnya.

PERGUMULAN DI DALAM BATHIN

Malam harinya Arif mengajakku makan ke foodcourt di sebuah pusat perbelanjaan. Dia juga mampir ke toko untuk membeli celana dan baju. Arif membelikan untukku juga, tapi aku tidak terlalu menanggapi. Sejak tadi aku lebih banyak diam, tidak bertanya sedikitpun. Mungkin karena aku masih shock. Sekembalinya kami ke kosan, Arif berusaha membuka percakapan dengan topik yang terjadi hari itu.

"Gimana? Masih tertarik untuk kerja? Ya, itulah sebabnya semalam aku tanya apa kamu sungguh-sungguh mo kerja. Aku ingin kamu lihat sendiri, Yo. Jadi kamu bisa putuskan, apakah masih akan melanjutkan atau kembali ke desa", jelas Arif.

Aku hanya terdiam beberapa saat. Pikiranku berkecamuk. Aku tak sanggup bekerja seperti Arif. Jangan dengan lelaki, sama perempuan lain saja di selain istriku, aku akan berpikir 1000x untuk berbuat mesum begitu. Ahhh, pergumulan di dalam bathinku pun memuncak. Ku tutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tiba-tiba Arif memegang pundakku...

"Yo, kalo kamu memang gak sanggup, ya gak apa-apa. Anggap aja kamu lagi jalan-jalan beberapa hari ke Jakarta. Kapan pun kamu ingin kembali ke desa, aku sih gak keberatan sama sekali. Semuanya terserah kamu saja...", ujar Arif menenangkanku.

"Tidak, Rif... Gak mungkin aku bisa kembali ke desa dengan tangan hampa. Aku harus bisa menunjukkan kepada keluarga istriku bahwa aku juga mampu menghidupi istri dan anakku.", sahutku kemudian.

"Tapi kamu bisa kerja apa? Di sini semua pekerjaan perlu ijasah lah, perlu koneksi lah, dan macam-macam. Kamu gak punya apa-apa untuk itu. Kalau kerja sepertiku, ya hanya butuh modal tubuh saja, dan modalmu lebih dari cukup. Badanmu bersih berotot, kontolmu lumayan gede kok. Tapi, sekali lagi terserah kamu ya, Yo..."

"Hmm... boleh aku diberi kesempatan berpikir dulu? Nanti aku ngasih jawaban besok pagi. Gak apa-apa kan, Rif?"

"Yowiz, kalo gitu aku tidur duluan ya. Nanti kita sambung besok", kata Arif. Aku hanya mengangguk. Pikiranku langsung menerawang. Sungguh pilihan yang sangat berat. Pikiranku saat itu sangat kalut. Tadi ku lihat Arif mengantongi uang ratusan ribu, yang mungkin sepadan dengan penghasilanku selama sebulan, dan dia mendapatkannya dalam waktu beberapa jam saja. Bayangkan saja berapa yang bisa didapat selama sebulan. Jika saja aku bisa mengatasi rasa jijikku, rasa engganku... Tapi, aku kan sudah punya istri dan anak? Gimana perasaan mereka kalau tahu suami dan ayah tercinta ternyata bekerja sebagai pelacur di Jakarta? Ah, mana mungkin mjuga mereka bisa tahu? Jakarta terlalu jauh dari desaku. Penduduknya banyak sekali, kemungkinan bertemu orang sedesa sangatlah kecil. Lagipula, mana ada orang dari desaku yang datang ke Jakarta untuk main dengan pelacur lelaki? Maafkan aku Marni. Sepertinya jalan ini harus ku ambil. Aku sudah cukup muak dihina-hina oleh keluargamu. Dan yang lebih utama lagi, aku harus bisa mengumpulkan uang untuk anak kita bersekolah nanti, juga untuk modal usahamu agar tidak perlu susah-susah mencuci pakaian di rumah tetangga. Biarlah aku yang berkorban saat ini, tapi semua demi kamu dan anak kita. Sekali lagi maafkan aku, Marni!

BERSAMBUNG

PESAN:

Hai, aku Versus. Sekali lagi aku menulis kisah untuk para pembaca MOTNES. Meskipun ini adalah bagian dari kisahku yang sifatnya fiktif, tapi cerita ini banyak dialami oleh para pria pemuas nafsu di kota-kota besar. Jadi, dapat juga dijadikan sebuah refleksi bersama. Untuk kisah nyata perjalanan hidupku sendiri (true story), silahkan cek di bawah ini, daftar kisah yang dimulai dengan judul "A VERSUS STORY" (01-14), itu semua adalah kisah hidupku yang asli. Nantikan juga kelanjutan cerita tentang Triyo yang dalam waktu dekat ini akan saya muat. Ada saran, kritik dll? Atau sekedar ingin berkenalan? Silahkan kirim email ke: versusierra@gmail.com pasti aku balas. Atau mau add aku sebagai friend di Facebook? Silahkan add alamat email yang tadi, ok? Terima kasih dan sampai junmpa!

VERSUS (versusierra@gmail.com)

###

Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

21 Gay Erotic Stories from VERSUS

! A Abdichandra SH

PESAN: Kisah ini adalah fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama tokoh dan lokasi, maka itu hanya kebetulan semata dan di luar kesengajaan penulis. Selain beberapa karya fiksi, penulis juga telah memuat di MOTN rangkaian kisah nyata pengalaman pribadi penulis dalam seri "A VERSUS Story". Bagi yang ingin memberi komentar atau sekedar kenalan, silahkan kirim email ke: asmaraku@sctvnews.com

01 Jun 2003

PESAN: Kisah ini adalah fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama tokoh dan lokasi, maka itu hanya kebetulan semata dan di luar kesengajaan penulis. Selain beberapa karya fiksi, penulis juga telah memuat di MOTN rangkaian kisah nyata pengalaman pribadi penulis dalam seri "A VERSUS Story". Bagi yang ingin memberi komentar atau sekedar kenalan, silahkan kirim email ke: asmaraku@sctvnews.com

A Versus Story 01: Layu Sebelum Berkembang, Part 1

PESAN: Hai there, ini adalah kisah ke-3 yang ku tulis di MOTN. Namun kisah yang satu ini seharusnya menjadi yang pertama karena ini adalah pengalamanku yang paling awal. Bagi yang telah mengirim email tanggapan atas kisahku sebelumnya, mohon maaf karena email address lama tidak aktif lagi. Jika ingin mengirim komentar, saran atau sekedar kenalan silahkan layangkan ke versusierra@gmail.com

A Versus Story 02: Layu Sebelum Berkembang, Part 2

PESAN: Hai there, ini adalah kisah ke-4 yang ku tulis di MOTN. Ini adalah kelanjutan dari Part 1 kisah yang sama. Jika anda belum membacanya, silahkan dibaca dulu sebelum melanjutkan ke Part 2 ini. Terima kasih bagi yang telah mengirim email tanggapan atas kisahku sebelumnya. Seperti biasa, jika ingin mengirim komentar, saran atau sekedar kenalan silahkan layangkan ke versusierra@gmail.com

A Versus Story 03: Pengalaman di SMP, Part 1

PESAN: Hai... nama saya Versus, orang Jawa tapi keturunan Prancis. Saya akan menghadirkan secara berkala beberapa kisah nyata yang pernah saya alami sendiri. Judulnya selalu "A Versus Story" diikuti dengan judul artikelnya. Bagi yang ingin kenalan atau komentar, silahkan kirim e-mail ke versusierra@gmail.com dan pasti akan dibalas. KISAH: Namaku Versus. Aku adalah seorang gay 100%

A Versus Story 04: Pengalaman di SMP, Part 2

PESAN: Hi, jumpa lagi dengan Versus. Bagi yang belum membaca bagian pertama, baca dulu deh... biar nyambung dengan yang kedua ini. Judul kisahku selalu dimulai dengan "A Versus Story" lalu dilanjutkan dengan judulnya. Yang ingin kenalan, komentar atau kritik, silahkan hubungi aku di versusierra@gmail.com. Selamat membaca! KISAH: Hari terakhir Ebtanas adalah hari yang paling melegakan.

A Versus Story 05: Gita Cinta dari SMA, Part 1

PESAN: Halo, jumpa lagi dengan Versus. Kali ini aku lanjutkan kisah nyataku dengan pengalaman ketika memasuki SMA. Jangan lupa baca kisah-kisahku terdahulu. Bagi yang ingin sumbang saran, kritik, komentar, atau ingin kenalan, kirim aja email ke: versusierra@gmail.com (email yang baru), pasti semuanya dibalas, thanks! KISAH: Hari pertama di SMA adalah saat yang sangat indah bagiku,

A Versus Story 06: Gita Cinta dari SMA, Part 2

PESAN: Gimana kisahku dengan Raka? Lumayan seru? Ini adalah kelanjutannya, di mana Raka akhirnya bisa bersikap aktif. Pokoknya, baca terus kisah-kisah nyata tentang diriku yang aku muat di MOTN. Bagi yang telah memberi saran, kritik dan komentar, atau yang ajak kenalan, terima kasih ya... Aku akan berusaha membalas semua email yang masuk. Bagi yang belum, silahkan kirim email ke:

A Versus Story 07: Gita Cinta dari SMA, Part 3

PESAN: Wah ternyata rangkaian kisah hidupku banyak diminati. Terima kasih kepada semua yang telah mengirim email, baik itu berisi saran atau sekedar komentar. Yang ingin kenalan, silahkan email ke: versusierra@gmail.com (email yang baru), pasti dibalas! Aku juga bersedia menerima Konsultasi Psikologi bagi anda yang punya masalah. Tanpa biaya dan kerahasiaan terjamin. Nah, sekarang silahkan

A Versus Story 08: Asmara di Puncak Gunung

PESAN: Terkadang seorang sahabat itu lebih dekat dengan kita dibandingkan seorang saudara. Tapi apa jadinya jika persahabatan telah melibatkan birahi? Ikuti kisahku di masa pubertas, sebuah kisah nyata. Bagi yang telah membaca kisah-kisahku sebelumnya dan telah mengirim email, aku ucapkan terima kasih banyak. Bagi yang ingin kontak untuk memberi komentar / saran, atau hanya sekedar

A Versus Story 09: Jadi Pramubirahi, Part 1

PESAN: Jumpa lagi dalam rangkaian kisah nyata hidupku yang ke-9. Khusus untuk edisi yang ini, mungkin tidak ada yang berbau erotis. Kisah erotisnya dimulai di kisah 10 berikutnya (sambungan yang ini) ketika aku menjadi gigolo, tapi tidak lengkap kalau tidak diikuti dari kisah 09 ini. Bagaimana dengan kisahku yang sebelumnya? Silahkan baca seri 01-08, thanks! Seperti biasa, yang ingin

A Versus Story 10: Jadi Pramubirahi, Part 2

PESAN: Terima kasih telah membaca kisahku seri 09, kelanjutannya dapat anda temui di sini. Komentar? Saran? Berkenalan? Hubungi: versusierra@gmail.com, thanks! KISAH: Dalam keadaan setengah mabuk ku lihat pak Liong berbisik dengan salah-seorang pelayan. Setelah itu, sang pelayan mengajakku ke belakang. "Ivan, kamu mau dapat uang banyak, kan?! Nah, aku punya tawaran untukmu, tapi

A Versus Story 11: Jadi Pramubirahi, Part 3

PESAN: Wah, saya tak menyangka sambutan dari pembaca MOTN cukup antusias. Terima kasih. Bagi yang ingin berkomentar atau kenalan, silahkan hubungi: versusierra@gmail.com, pasti dibalas! Sekarang ikuti kelanjutan kisah nyataku sebagai gigolo di Jakarta... KISAH: Tak terasa sudah hampir 6 bulan berlalu sejak aku mendapatkan tamu pertamaku. Aku tetap kerja sebagai penyanyi seperti biasa di

A Versus Story 12: Cinta Bersemi di Kampus

PESAN: Tak disangka rangkaian kisah nyata hidupku sejak kecil sampai masuk kuliah ini sudah mencapai 12 seri. Terima kasih atas dukungan banyak pihak melalui email selama ini. Yang belum sempat, silahkan kirim email ke: versusierra@gmail.com, pasti direply. Thanks! KISAH: Meskipun sekolahku sempat terbengkalai (baca kisah sebelumnya), tapi akhirnya aku bisa tamat SMA, bahkan dengan NEM

A Versus Story 13: Badai Pasti Berlalu

PESAN: 12 seri kisah nyata hidupku sampai masa kuliah telah ku tuliskan. Berikut ini adalah pengalamanku setelah aku lulus menjadi sarjana dan takdir membawaku kembali ke Jakarta. Ada komentar atau sekedar ingin kenalan? Silahkan email ke: versusierra@gmail.com, pasti dibalas. Terima kasih. KISAH: Lulus dengan status suma cumlaude atau A+ tentunya membuat orangtuaku sangat bangga

A Versus Story 14: Di Negeri Orang

PESAN: Aku menulis kisah ini pada bulan Mei 2003. Ini adalah bagian paling aktual kisah nyata diriku sampai sampai saat ini aku telah bekerja di Bangkok. Memang bukan yang terakhir, sebab setelah ada pengalaman baru, aku akan melanjutkan lagi kisah hidupku di masa mendatang mulai seri 15 dan seterusnya. Seperti biasa, aku harapkan komentar atau saran pembaca, atau sekedar ingin kenalan pun

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.2

KEPUTUSAN PUN KU AMBILPagi itu, tidak seperti biasanya, Arif justru bangun lebih awal dariku. Mungkin karena semalam aku melamun dan berpikir selama beberapa jam, dan baru bisa terlelap menjelang subuh. Bahkan Arif sudah selesai mandi ketika aku berdiri dari pembaringan.

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.3

SEBULAN PERTAMASebulan sudah aku berada di Jakarta. Sebagai pendatang baru di dunia kucing (pelacur pria -red), aku tidak sepi dari tamu. Uang yang ku simpan sudah lumayan banyak, meskipun aku tetap harus berbagi dengan Arif. Pasalnya, Ariflah yang mencarikan tamu untukku, sebagai manager-lah ibaratnya, aku tinggal layani tamu aja setelah ada orderan. Aku juga tetap tinggal di kosan Arif,

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.4

BAGAI TERSAMBAR PETIRSetelah sekian lama menunggu tanpa adanya tanda-tanda Mas Doni sama sekali, aq coba untuk mencari bapak penjaga rumah itu guna menanyakan di mana tuannya berada. Baru saja aku berdiri dari sofa, tiba-tiba terdengar langkah kaki turun dari tangga.

Malam yang Indah di Bali

Malam itu, Garuda Indonesia GA-418 yang ku tumpangi dari Jakarta ke Denpasar seharusnya dijadwalkan jam 21.20 WIB dan tiba jam 00.05 WITA, ternyata telat 30 menit. Alhasil, sudah hampir jam 00.01 malam ketika aku melangkah keluar dari Terminal Kedatangan Domestik di Bandara Internasional Ngurah Rai. Meskipun tengah malam, tapi airport itu tampai ramai. Maklumlah, waktu itu bertepatan dengan musim

###
Popular Blogs From MenOnTheNet.com

Please support our sponsors to keep MenOnTheNet.com free.

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story