Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

A Versus Story 09: Jadi Pramubirahi, Part 1

by VERSUS


PESAN:

Jumpa lagi dalam rangkaian kisah nyata hidupku yang ke-9. Khusus untuk edisi yang ini, mungkin tidak ada yang berbau erotis. Kisah erotisnya dimulai di kisah 10 berikutnya (sambungan yang ini) ketika aku menjadi gigolo, tapi tidak lengkap kalau tidak diikuti dari kisah 09 ini. Bagaimana dengan kisahku yang sebelumnya? Silahkan baca seri 01-08, thanks! Seperti biasa, yang ingin kasih komentar / saran atau sekedar ingin kenalan, kirim aja email ke: versusierra@gmail.com, pasti di-reply.

KISAH:

"Celaka! Sudah jam 7.30, pasti aku terlambat lagi", pikirku. Emang benar, seharusnya jam segini aku sudah harus berada di sekolah. Tapi ku dapati diriku masih telanjang bulat di atas ranjang. Memang aku lebih suka nude kalau lagi sendirian begini. Segera ku loncat ke kamar mandi yang terletak di dalam kamarku juga. Gosok gigi lalu bilas-bilas tubuh dan muka, ngak keburu mandi berendam. Saat keluar pintu depan, ku lihat Pak Asep, sopir pribadiku, telah menghidupkan mesin Bay-Benz yang diberikan oleh orangtua khusus untukku.

"Versus, kali ini kamu sudah keterlaluan! Sudah berapa kali kamu terlambat?", omel wali kelasku di ruang guru. Wajar saja beliau marah, aku baru habis didamprat dan ditolak masuk kelas oleh guru Matematika yang aku juluki si Killer, karena kebetulan jam pertama adalah mata pelajarannya di kelasku. Aku hanya diam, sebab memang salahku. Sejak masuk semester IV di kelas II SMA, konsentrasi belajarku menurun. Mungkin juga pengaruh kepergian Raka yang pindah sekolah (baca kisah 05-07). Apalagi sekarang aku lebih sering bergaul dengan anak-anak tetanggaku ketimbang teman sekolah.

"Mau jadi apa kamu? Cari uang aja belum becus, sekolah sudah mau berantakan juga! Ini gara-gara ibumu terlalu memanjakan kamu! Apakah tidak cukup uang dan fasilitas yang kamu dapat selama ini? (dst, dst)", omel ayahku malam harinya. Rupanya dari sekolah ada yang mengirim surat ke rumah untuk memberitahukan keadaanku akhir-akhir ini. Aku protes, walau hanya dalam hati. Selama ini ayahku terlalu sibuk dengan bisnisnya, tak ada waktu untuk memberi perhatian kepadaku. Tahunya yang penting saldo rekeningku nggak pernah kosong karena selalu disetor lewat sekretarisnya. Wah, kalau dia pikir ini namanya perhatian, salah besar! Sejak TK sampai SMA tidak pernah sekalipun ayah mau mengambil raporku di sekolah, apalagi membantu mengerjakan PR, kok tiba-tiba protes soal keadaanku?

"Apa, minggat? Nggak salah dengar?", tanya Alwi keheranan ketika aku muncul di rumahnya membawa tas ransel berisi beberapa potong pakaian dan seragam sekolah serta buku-buku penting. "Jangan Ver, aku nggak mau ambil resiko. Ayahmu kan pengusaha kaya yang berpengaruh besar di sini, nanti aku dan keluarga mengalami masalah!"

"Tenang aja. Nggak ada yang tahu kalau aku ke sini. Tadi Pak Asep nggak melihatku keluar, lagipula aku pakai taksi kok. Orang-orang suruhan ayahku tidak mungkin tahu kalau aku ngumpet di sini", tanggapku dengan nada memelas.

Akhirnya Alwi menyerah juga, apalagi karena hubungan kami yang sangat dekat (baca kisahku dengan Alwi di seri 08). Orangtuanya juga sebenarnya kuatir juga. Mereka juga tahu kalau ayahku bisa melakukan apa saja. Namun aku bisa memberi jaminan sehingga mereka agak tenang. Kalau Joni, adiknya yang sebaya denganku, sih setuju-setuju aja. Tadinya dia menawarkan aku tidur di kamarnya, tapi sudah pasti aku lebih memilih untuk tidur dengan Alwi.

Aku sih tidak berniat untuk lama-lama tinggal di rumah Alwi, sebab kekuatiran mereka ada benarnya soal ayahku. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang ialah aku bisa berduaan dengan Alwi setiap malam. Meskipun lagi minggat, tapi aku tetap berusaha pergi ke sekolah. Ayahku tidak berani menyuruh orang mencegatku di sekolahan, sebab beliau kuatir kalau aku malah kabur terus tidak mau sekolah lagi. Jadi saat ini sekolah adalah salah satu tempat yang aman untukku. Jika pulang aku selalu ikutan mobil salah seorang teman sekelasku yang selalu di parkir di dalam kompleks SMA. Kacanya pun gelap semua, jadi kalaupun ada orang suruhan ayahku yang memata-matai di luar kompleks, mereka tidak akan tahu kalau aku ada di mobil itu. Teman-teman sekolah yang lain sudah ku ajak bersekongkol untuk merahasiakan hal itu.

Aku masih sering ketemu ibuku, tapi secara diam-diam. Beliau juga takut kalau sampai ketahuan ayahku. Ibuku memang terlalu sayang kepadaku. Wajarlah, aku adalah putera satu-satunya. Tanpa sepengetahuan ayahku, beliau membelikan satu unit suite di sebuah apartemen megah. Maksudnya supaya beliau juga bisa dengan leluasa menemuiku. Aku sempat tinggal dengan Alwi hampir 6 bulan di sana. Sampai suatu saat, orang suruhan ayahku berhasil mengetahui tempat persembunyianku itu. Untungnya aku sempat kabur lagi, walau hanya dengan baju di badan.

Singkat cerita, dalam pelarian aku berkenalan dengan seorang anak buah kapal di pelabuhan. ABK itu sudah setengah baya, dan dia bekerja sebagai koki kapal. Pada saat itu aku sedang kelaparan dan dia memberiku makanan. Pakaianku sudah kumal, dan aku tidak punya uang sepeser pun sebab buku tabunganku tidak sempat ku bawa ketika kabur dari apartemen (saat itu belum ada ATM). Kartu Siswa pun ketinggalan bersama dompet, sehingga sama sekali tidak mungkin ke bank mengambil uang tanpa buku dan kartu identitas sama sekali. Pak koki itu bilng bahwa hari ini kapalnya akan bertolak ke Jakarta. Aku yang sudah kepalang tanggung, minta untuk ikutan bersamanya. Mulanya sih dia ragu sebab baru mengenalku, tapi melihat sikapku yang sepertinya anak baik-baik, sang koki pun akhirnya setuju juga.

Perjalanan ke Jakarta berlangsung 3 hari 3 malam. Selama perjalanan aku membantunya di dapur untuk menyiapkan makanan bagi para ABK. Inilah pertama kalinya aku belajar hidup keras, sebab di rumah serba dilayani oleh para pembantu, bahkan menginjak dapur pun mungkin hampir nggak pernah. Namun aku belajar banyak dari pak koki. Terkadang dia senyum sendiri melihatku tidak becus kerja, tapi dia bisa memakluminya. Setelah sandar di pelabuha Tanjung Priok, aku pamitan kepada pak koki. Dia sempat menanyakan ke mana tujuanku, aku hanya bilang tidak tahu. Ke mana saja kaki ini melangkah, itulah tujuanku. Kedekatan kami selama 3 hari membuatnya iba terhadapku. Ia memberiku beberapa pakaian bekas dan uang sebesar Rp.5000 (waktu itu jumlah demikian cukup besar). Ia sempat menawarkan aku untuk terus bekerja di kapal, tapi aku menolak halus. Aku telah siap menantang beringasnya Jakarta yang kini tepat di depan hidungku. Aku sadar bahwa kali ini bukan sedang jalan-jalan berlibur dengan pesawat dan tinggal di Hilton.

Setelah mengembara 2 hari, tibalah aku di belakang Stasiun KA Bungur, Senen. Uang Rp.5000 yang diberikan pak koki sudah ludes. Aku membongkar sisa-sisa makanan di belakang warung-warung dekat stasiun itu, barangkali masih ada yang layak masuk ke mulutku. Beberapa kali aku diusir dan ditendang. Pada saat seperti ini, aku teringat empuknya kasur dan lezatnya makanan di rumah orangtuaku. Aku berusaha untuk tidak menangis!

"Hei, bangun! Jangan tidur di situ! Inikan tempat orang lalu lalang!", terdengar sebuah suara kasar membangunkan tidurku. Setelah ku kucek mata, tampak seorang lelaki berdiri di sampingku.

"Siapa mas?", kali ini suara seorang wanita dari arah gubuk kardus munggil tak jauh dari situ. Rupanya aku tertidur di tempat gubuk-gubuk kumuh yang dihuni para pemulung dekat lintasan kereta di Bungur.

"Maaf, aku tidak tahu", jawabku. Untunglah setelah berbicara sebentar, ternyata lelaki itu tidak kasar lagi. Namanya mas Amin, sedangkan wanita tadi adalah isterinya, mbak Sumi. Mas Amin dan mbak Sumi adalah penghuni gubuk itu. Aku memperkenalkan diri dengan identitas palsu, nama Ivan, asal Sulawesi Tengah. Aku sengaja, sebab di Jakarta banyak tinggal kerabat keluargaku, dan apapun yang terjadi aku tak mau menemui mereka sama sekali, itu sama saja menyerahkan diri kepada ayahku.

Mas Amin ternyata bukan seorang pemulung, tapi pengamen. Pucuk dicinta ulam tiba. Aku memang punya bakat menyanyi sejak kecil. Mas Amin mengajakku tinggal di gubuknya. Untuk sesuap nasi, aku ikut dengannya mengamen di bis kota, berbekal sebuah gitar butut. Jalur yang paling sering kami naiki adalah bis tingkat 14A jurusan Senen - Blok M. Penghasilan kami pas-pasan untuk makan saja.

Suatu hari aku dan mas Amin seperti biasa ngamen di bis 14A. Pada saat aku mengumpulkan uang dari para penumpang, ada seorang lelaki usia 20an memberiku kartu nama. Katanya dia tertarik mendengar suaraku, dan bisa membantuku. Jika aku berminat, disuruh menghubungi ke alamat yang tertera di kartu itu. "Wahyu Alam", demikian nama yang tertera di kartu itu. Mulanya aku tak ingin menanggapi, tapi mas Amin dan isterinya mendesak aku terus. Akhirnya, berbekal pakaian baru murahan yang dibeli mas Amin di Pasar Senen, serta sedikit uang receh untuk perjalanan, aku beranikan diri mencari mas Wahyu.

"Oh, kamu?! Saya kira kamu tidak berminat. Sini masuk!", ujar mas Wahyu ketika aku diantar masuk oleh sekretarisnya di kantor yang terletak di Jl.Sudirman. "Wah, sayang sekali cowok ganteng begini pakaiannya kumal begitu. Desi!", mas Wahyu memanggil sekretarisnya, "coba lihat ukuran pakaiannya dan beli baru yang bagus di Ratu Plaza!". Sang sekretaris segera memenuhi permintaan bossnya.

Selanjutnya aku diwawancarai banyak hal. Sekali lagi, aku berbohong tentang identitasku. Dari mas Wahyu ku ketahui bahwa aku akan dijadikan penyanyi di sebuah club malam di kawasan Gajah Mada. Aku sih setuju saja, berapa pun bayarannya, pasti lebih besar daripada jadi pengamen. Aku pikir, dengan demikian aku bisa juga meneruskan sekolahku yang terputus. Apalagi jam kerjanya hanya malam hari.

Hari pertama bekerja, aku masih kaku. Club itu remang-remang dan ku lihat tamu-tamu di situ kebanyakan dari etnis Tionghoa, usia mereka rata-rata sudah di atas 40an. Aku jadi kikuk, beberapa tamu memandangi seperti mau ditelan pada saat aku menyanyi. Aku sama sekali tidak menduga apa yang akan terjadi kemudian.

"Van, tamu di meja nomor 5 minta kamu menemani. Cepat ke sana!", ujar seorang pelayan sambil menunjuk ke arah meja dimaksud. "Menemani tamu? Untuk apa?", tanyaku dalam hati, tapi tetap saja aku melangkah ke arah meja itu. Di sana duduk 2 orang pria yang sedang memandangku.

"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu", tanyaku.

"Oh kamu anak baru itu ya?! Kenalkan, namaku Liong, dan ini temanku San.", ujar lelaku yang kelihatan lebih tua umurnya, "silahkan duduk di sini."

"Terima kasih pak Liong."

"Ah, panggil saja Liong, nggak usah pake pak segala."

Walaupun belum tahu ujung pangkalnya, ternyata aku bisa cepat akrab bercakap-cakap dengan mereka. Baru ku tahu bahwa dia adalah seorang pengusaha kaya asal Johor Bahru, Malaysia, tapi sering sekali ke Jakarta. Temannya si San adalah pengusaha rekan bisnisnya dari Singapura, dia kurang fasih berbahasa Indonesia, jadi aku ladeni dengan bahasa Inggris. Begitu lama kami bercengkerama sambil sesekali terbahak-bahak. Aku sudah mulai mabuk oleh whiskey yang disajikan di meja.

Peristiwa selanjutnya, sungguh di luar dugaanku! Nah, pembaca, ingin bagian yang erotis, silahkan ikuti kelanjutannya di kisah 10, sebab kalau disambung di sini terlalu panjang...

BERSAMBUNG

###

21 Gay Erotic Stories from VERSUS

! A Abdichandra SH

PESAN: Kisah ini adalah fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama tokoh dan lokasi, maka itu hanya kebetulan semata dan di luar kesengajaan penulis. Selain beberapa karya fiksi, penulis juga telah memuat di MOTN rangkaian kisah nyata pengalaman pribadi penulis dalam seri "A VERSUS Story". Bagi yang ingin memberi komentar atau sekedar kenalan, silahkan kirim email ke: asmaraku@sctvnews.com

01 Jun 2003

PESAN: Kisah ini adalah fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama tokoh dan lokasi, maka itu hanya kebetulan semata dan di luar kesengajaan penulis. Selain beberapa karya fiksi, penulis juga telah memuat di MOTN rangkaian kisah nyata pengalaman pribadi penulis dalam seri "A VERSUS Story". Bagi yang ingin memberi komentar atau sekedar kenalan, silahkan kirim email ke: asmaraku@sctvnews.com

A Versus Story 01: Layu Sebelum Berkembang, Part 1

PESAN: Hai there, ini adalah kisah ke-3 yang ku tulis di MOTN. Namun kisah yang satu ini seharusnya menjadi yang pertama karena ini adalah pengalamanku yang paling awal. Bagi yang telah mengirim email tanggapan atas kisahku sebelumnya, mohon maaf karena email address lama tidak aktif lagi. Jika ingin mengirim komentar, saran atau sekedar kenalan silahkan layangkan ke versusierra@gmail.com

A Versus Story 02: Layu Sebelum Berkembang, Part 2

PESAN: Hai there, ini adalah kisah ke-4 yang ku tulis di MOTN. Ini adalah kelanjutan dari Part 1 kisah yang sama. Jika anda belum membacanya, silahkan dibaca dulu sebelum melanjutkan ke Part 2 ini. Terima kasih bagi yang telah mengirim email tanggapan atas kisahku sebelumnya. Seperti biasa, jika ingin mengirim komentar, saran atau sekedar kenalan silahkan layangkan ke versusierra@gmail.com

A Versus Story 03: Pengalaman di SMP, Part 1

PESAN: Hai... nama saya Versus, orang Jawa tapi keturunan Prancis. Saya akan menghadirkan secara berkala beberapa kisah nyata yang pernah saya alami sendiri. Judulnya selalu "A Versus Story" diikuti dengan judul artikelnya. Bagi yang ingin kenalan atau komentar, silahkan kirim e-mail ke versusierra@gmail.com dan pasti akan dibalas. KISAH: Namaku Versus. Aku adalah seorang gay 100%

A Versus Story 04: Pengalaman di SMP, Part 2

PESAN: Hi, jumpa lagi dengan Versus. Bagi yang belum membaca bagian pertama, baca dulu deh... biar nyambung dengan yang kedua ini. Judul kisahku selalu dimulai dengan "A Versus Story" lalu dilanjutkan dengan judulnya. Yang ingin kenalan, komentar atau kritik, silahkan hubungi aku di versusierra@gmail.com. Selamat membaca! KISAH: Hari terakhir Ebtanas adalah hari yang paling melegakan.

A Versus Story 05: Gita Cinta dari SMA, Part 1

PESAN: Halo, jumpa lagi dengan Versus. Kali ini aku lanjutkan kisah nyataku dengan pengalaman ketika memasuki SMA. Jangan lupa baca kisah-kisahku terdahulu. Bagi yang ingin sumbang saran, kritik, komentar, atau ingin kenalan, kirim aja email ke: versusierra@gmail.com (email yang baru), pasti semuanya dibalas, thanks! KISAH: Hari pertama di SMA adalah saat yang sangat indah bagiku,

A Versus Story 06: Gita Cinta dari SMA, Part 2

PESAN: Gimana kisahku dengan Raka? Lumayan seru? Ini adalah kelanjutannya, di mana Raka akhirnya bisa bersikap aktif. Pokoknya, baca terus kisah-kisah nyata tentang diriku yang aku muat di MOTN. Bagi yang telah memberi saran, kritik dan komentar, atau yang ajak kenalan, terima kasih ya... Aku akan berusaha membalas semua email yang masuk. Bagi yang belum, silahkan kirim email ke:

A Versus Story 07: Gita Cinta dari SMA, Part 3

PESAN: Wah ternyata rangkaian kisah hidupku banyak diminati. Terima kasih kepada semua yang telah mengirim email, baik itu berisi saran atau sekedar komentar. Yang ingin kenalan, silahkan email ke: versusierra@gmail.com (email yang baru), pasti dibalas! Aku juga bersedia menerima Konsultasi Psikologi bagi anda yang punya masalah. Tanpa biaya dan kerahasiaan terjamin. Nah, sekarang silahkan

A Versus Story 08: Asmara di Puncak Gunung

PESAN: Terkadang seorang sahabat itu lebih dekat dengan kita dibandingkan seorang saudara. Tapi apa jadinya jika persahabatan telah melibatkan birahi? Ikuti kisahku di masa pubertas, sebuah kisah nyata. Bagi yang telah membaca kisah-kisahku sebelumnya dan telah mengirim email, aku ucapkan terima kasih banyak. Bagi yang ingin kontak untuk memberi komentar / saran, atau hanya sekedar

A Versus Story 09: Jadi Pramubirahi, Part 1

PESAN: Jumpa lagi dalam rangkaian kisah nyata hidupku yang ke-9. Khusus untuk edisi yang ini, mungkin tidak ada yang berbau erotis. Kisah erotisnya dimulai di kisah 10 berikutnya (sambungan yang ini) ketika aku menjadi gigolo, tapi tidak lengkap kalau tidak diikuti dari kisah 09 ini. Bagaimana dengan kisahku yang sebelumnya? Silahkan baca seri 01-08, thanks! Seperti biasa, yang ingin

A Versus Story 10: Jadi Pramubirahi, Part 2

PESAN: Terima kasih telah membaca kisahku seri 09, kelanjutannya dapat anda temui di sini. Komentar? Saran? Berkenalan? Hubungi: versusierra@gmail.com, thanks! KISAH: Dalam keadaan setengah mabuk ku lihat pak Liong berbisik dengan salah-seorang pelayan. Setelah itu, sang pelayan mengajakku ke belakang. "Ivan, kamu mau dapat uang banyak, kan?! Nah, aku punya tawaran untukmu, tapi

A Versus Story 11: Jadi Pramubirahi, Part 3

PESAN: Wah, saya tak menyangka sambutan dari pembaca MOTN cukup antusias. Terima kasih. Bagi yang ingin berkomentar atau kenalan, silahkan hubungi: versusierra@gmail.com, pasti dibalas! Sekarang ikuti kelanjutan kisah nyataku sebagai gigolo di Jakarta... KISAH: Tak terasa sudah hampir 6 bulan berlalu sejak aku mendapatkan tamu pertamaku. Aku tetap kerja sebagai penyanyi seperti biasa di

A Versus Story 12: Cinta Bersemi di Kampus

PESAN: Tak disangka rangkaian kisah nyata hidupku sejak kecil sampai masuk kuliah ini sudah mencapai 12 seri. Terima kasih atas dukungan banyak pihak melalui email selama ini. Yang belum sempat, silahkan kirim email ke: versusierra@gmail.com, pasti direply. Thanks! KISAH: Meskipun sekolahku sempat terbengkalai (baca kisah sebelumnya), tapi akhirnya aku bisa tamat SMA, bahkan dengan NEM

A Versus Story 13: Badai Pasti Berlalu

PESAN: 12 seri kisah nyata hidupku sampai masa kuliah telah ku tuliskan. Berikut ini adalah pengalamanku setelah aku lulus menjadi sarjana dan takdir membawaku kembali ke Jakarta. Ada komentar atau sekedar ingin kenalan? Silahkan email ke: versusierra@gmail.com, pasti dibalas. Terima kasih. KISAH: Lulus dengan status suma cumlaude atau A+ tentunya membuat orangtuaku sangat bangga

A Versus Story 14: Di Negeri Orang

PESAN: Aku menulis kisah ini pada bulan Mei 2003. Ini adalah bagian paling aktual kisah nyata diriku sampai sampai saat ini aku telah bekerja di Bangkok. Memang bukan yang terakhir, sebab setelah ada pengalaman baru, aku akan melanjutkan lagi kisah hidupku di masa mendatang mulai seri 15 dan seterusnya. Seperti biasa, aku harapkan komentar atau saran pembaca, atau sekedar ingin kenalan pun

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.2

KEPUTUSAN PUN KU AMBILPagi itu, tidak seperti biasanya, Arif justru bangun lebih awal dariku. Mungkin karena semalam aku melamun dan berpikir selama beberapa jam, dan baru bisa terlelap menjelang subuh. Bahkan Arif sudah selesai mandi ketika aku berdiri dari pembaringan.

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.3

SEBULAN PERTAMASebulan sudah aku berada di Jakarta. Sebagai pendatang baru di dunia kucing (pelacur pria -red), aku tidak sepi dari tamu. Uang yang ku simpan sudah lumayan banyak, meskipun aku tetap harus berbagi dengan Arif. Pasalnya, Ariflah yang mencarikan tamu untukku, sebagai manager-lah ibaratnya, aku tinggal layani tamu aja setelah ada orderan. Aku juga tetap tinggal di kosan Arif,

Maafkan Aku, Marni (Kisah Gigolo dari Desa) Part.4

BAGAI TERSAMBAR PETIRSetelah sekian lama menunggu tanpa adanya tanda-tanda Mas Doni sama sekali, aq coba untuk mencari bapak penjaga rumah itu guna menanyakan di mana tuannya berada. Baru saja aku berdiri dari sofa, tiba-tiba terdengar langkah kaki turun dari tangga.

Malam yang Indah di Bali

Malam itu, Garuda Indonesia GA-418 yang ku tumpangi dari Jakarta ke Denpasar seharusnya dijadwalkan jam 21.20 WIB dan tiba jam 00.05 WITA, ternyata telat 30 menit. Alhasil, sudah hampir jam 00.01 malam ketika aku melangkah keluar dari Terminal Kedatangan Domestik di Bandara Internasional Ngurah Rai. Meskipun tengah malam, tapi airport itu tampai ramai. Maklumlah, waktu itu bertepatan dengan musim

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story