Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Viktor 01: Anak Kesayangan

by Bellogetti


Peringatan: Karangan ini tidak dibuat untuk semua pemirsa. Beberapa bagian di dalamnya dapat dibilang mengejutkan karena menggambarkan kegiatan seksual antara pria dewasa dengan Viktor, karakter yang masih berada dalam usia pra-remaja. Apabila hal ini bukan tulisan yang dapat Anda terima/ nikmati, silakan click back-button dan pilih ceritera lainnya.

Penulis tidak mendorong atau menganjurkan Anda untuk melakukan kegiatan ini dengan siapapun yang belum dewasa. Nikmatilah dengan akal sehat karena karangan ini memang sengaja dibuat untuk memuaskan fantasi Anda yang tidak pernah terjadi dalam kehidupan nyata penulis.

Terimakasih atas perhatiannya, Fred.

“Anak Kesayangan”

Terus terang bila tidak diingatkan oleh sebuah foto yang terpajang di ruang tamu, aku tidak akan tahu seperti apa paras ibuku yang ayu itu. Beliau meninggalkan rumah ini mungkin sekitar lima tahun yang lalu entah dengan apa alasannya. Ayah tidak pernah menceritakannya padaku. Beberapa kali aku mencoba bertanya padanya beliau selalu mengelak untuk menjawab.

Sebagai anak satu-satunya, tentu saja hubungan kami berdua sangatlah akrab. Apalagi sejak kecil aku sudah ikut membantu ayah mengerjakan urusan-urusan rumah tangga karena kami tidak memiliki pembantu.

Sebenarnya mungkin bukan karena Ayah tidak mampu menggaji seseorang untuk hal ini. Mungkin karena Ayah saya, yang menikmati masa kecilnya di Brighton, juga tidak pernah memiliki pembantu sebelumnya. Lagipula apartemen di tengah kota yang kami tinggali ini juga tidak begitu luas. Hanya dua kamar tidur, sebuah dapur dan sebuah ruang keluarga yang cukup besar.

Guru-guruku di sekolah selalu ingin mencubit pipiku ketika aku masih kecil. Mereka bilang aku imut. Hasil peranakan mama Yanti yang berdarah Jawa dengan Ayahku –beliau mengharuskan aku memanggilnya dengan sebutan Ayah- yang benar-benar turunan kulit putih.

Kami berdua selalu pergi bersama. Rutinitas harian seperti mengantar jemput sekolah dan sebagainya selalu dilakukan oleh ayah sendiri. Maklum perusahaan mebel yang ia miliki membuat waktunya tidak dikekang oleh jam kantor seperti ayah-ayah lainnya.

Ian, namanya. Selalu saja menjadi perhatian orang ketika kami berada di tempat umum. Tentu saja tinggi tubuhnya yang menjulang memiliki andil besar. Belum lagi kulitnya yang agak coklat terbakar sinar mentari dan wajahnya yang tampan. Banyak tante-tante maupun gadis-gadis remaja yang sering mencuri pandang ke arahnya. Setelah saya perhatikan lebih lanjut, memang benar ayahku itu paling top, very handsome.

Sore itu seperti biasa setelah kembali dari tempat kebugaran dari lantai dasar gedung kami, beliau pulang dengan kaos kutang yang usah basah kuyup oleh keringatnya.

“Viktor, kamu sudah bikin pe-er?” “Sudah Yah...” “Duh, panas sekali di sini ya? Kamu sudah nyalakan AC?” “Udah dari tadi Yah... udah duduk dulu aja nonton TV, sebentar lagi pasti adem juga...”

Kebiasaan ayah yang satu ini pasti jarang ditemukan di rumah tangga lainnya. Ketika merasa kepanasan, Ayah akan mendinginkan tubuhnya dengan cara yang paling ekstrim. Setelah melepaskan sepatu olahraga dan kaos kakinya, ia berjalan ke arah dapur dan menanggalkan kaos kutangnya sembari menghanduki tubuh kekarnya dengan kaos basah tersebut. Tak lama kemudian bongkahan pantatnya yang kokoh itu terlihat setelah ia dengan santainya ia melepaskan celana pendeknya. Benar-benar seperti anak kecil. Celana pendek itu ia biarkan tergeletak dilantai sebelum ia sibuk menurunkan celana dalam putihnya yang telah basah oleh keringat juga.

Wah gawat nih, pikirku. Pantat kenyal dan berbulu itu berjalan ke arah kulkas. Ah benar saja. Sambil tersenyum nakal ke arahku ia membuka pintu lemari pendingin itu dan berdiri di depan suhu yang menyejukkan itu. Kemudian ia berbalik badan dan mengademkan punggung serta jok belakang-nya.

Aku segera berlari ke arahnya, “Aduh... Ayah jorok banget sih... kan nanti isi kulkasnya jadi bau keringet semua... udah sini...” aku menarik tangannya dan menuntunnya ke arah ruang keluarga. Dengan wajah terpaksa ia menuruti kemauanku.

“Ayah duduk di sini dulu, AC-nya sudah mulai dingin kan? Biar aku buatin Nutrisari dingin dulu ya...”

Suara TV mulai terdengar dari dapur.

“Viktoooor.... viktoooorrr...” panggilnya manja “Ayah udah haus nih...”

“Iya, sebentar kenapa?”

“Ayo dong sini...”

Tak lama kemudian gelas dingin itu aku serahkan padanya. Belum sampai lima detik seluruh cairan oranye itu sudah masuk dalam kerongkongannya.

“Awas keselek Yah...” “Ah cerewet kamu” balasnya bercanda.

Yah, begitulah peran saya di rumah itu. Jadi anak iya, ikut membantu membersihkan rumah juga iya, memasak juga iya (ayah mengajariku, ia sangat pandai di dapur) dan termasuk mengurusi kebutuhan sehari-hari ayahku juga.

Setelah tubuhnya mulai mendingin dan keringat sudah tidak menetes lagi dari pori-pori tubuh dan keningnya, ia lalu menarik jemariku yang masih berdiri di sampingnya.

“Udah gelasnya nanti aja, sini temenin Ayah nonton TV dulu...”

Tentu, seperti biasa ini adalah sebuah kode pribadi antara aku dan ayahku ketika hasratnya mulai timbul.

“Duh, Ayah nih napsu banget sih, masih siang gini lho...” “Ya gimana ya yang? Abis kamu imut banget sih... bikin Ayah geregetan...” “Setidaknya kordennya aku tutup dulu ya...” ujarku sembari berjalan ke arah jendela-jendela besar yang menjembatani lantai dan langit-langit apartemen itu.

Dari belakang ia kemudian menarik dan memelukku sehingga aku terjatuh di tubuh telanjangnya yang besar dan hangat. Sembari bergurau ia berbisik di telingaku, “Kamu ini sukanya ngerjain Ayah ya? Udah tau Ayah lagi kangen banget sama kamu...” “Biasa dong Yah... orang kemping cuman pisah 2 hari aja kemaren udah sok kangen...” “Eh, yang namanya sama anak sendiri kangen kan wajar?”

Kemudian ia mengelus rambutku dengan lembut.

“Gimana kamu kempingnya kemaren? Seneng ga?” “Ya standard lah...” “Anak zaman sekarang jawabnya asal banget sih... Terus gimana ada yang cakep ga?” “Eh, iya Yah, itu si... ehm, kakak pemandu pramukanya ganteng banget. Katanya sih dia masih SMA...” “Oh ya? Mana Ayah kok ngga dikenalin?” “Ya ntar dong, sabar satu-satu...” “Emang mau ngapain dulu sih?”

“Jadi yang ini ga jadi?”

Aku memandangnya dengan nakal sembari menggesekkan pahaku pada daerah terlarangnya dengan mesra.

“Jadi dong yang...”

Perlahan ia menciumi leherku dari belakang. Tangan kanannya sudah mulai menyelusup di dalam kaos kutangku dan jemarinya mulai merajalela pada dada dan puting susuku.

“Hmph, anak Ayah makin keras aja badannya...” “Iya dong kan udah mau kelas enam...”

Jemarinya mulai bergerak ke arah ketiakku yang masih polos itu dan aku dibuatnya mengerang kegelian.

Setelah itu ia membuka belahan kakiku dan perlahan jemarinya mulai menerobos dari belakang celana pendek dekil kesayanganku itu.

“Hmm, buah pantatmu begitu lembut Viktor, seperti bayi! Empuk lagi...”

Jari-jari nakal itu mulai menjelajahi daerah lembab di sana sembari membuka belahan bokongku. Tak lama kemudian kurasakan jari tengahnya yang besar telah ditidurkan tepat di depan liang anusku dan Ayah perlahan mulai menggesek-gesekkan jarinya di sana.

“Wah hangat sekali Tor... hmm... masih belum numbuh di situ ya bulunya...” “Idih... mendingan polos daripada seperti pantat Ayah...” “Haha... bentar lagi juga rame...” balasnya santai.

Lengan kekarnya mulai menerobos lebih dalam dari balik karet belakang celana pendekku itu. Kedua belahan kakiku makin menguak lebar. Jemarinya mulai menyentuh kedua biji empukku yang hangat dan haus akan sentuhan itu.

Aku mengerang kecil.

Telapak tangannya berhasil menggenggam bakso-bakso itu dan kini penis kecilku yang mulai tegang itu ia selipkan diantara jari tengah dan jari telunjuknya sembari memberikan rangsangan-rangsangan kecil.

Ketika ujung jemarinya mencapai dasar batangku itu ia berhenti sesaat.

“Lho, sejak kapan ada rambut2 tipis di sini Tor?” “Mmm... baru kok Yah... paling semingguan... iya nih... gatel banget... iya Yah... garukin dong di situ”

“Wah, anak Ayah sudah mulai beranjak dewasa ya...” ia menuruti kemauanku.

“Coba sini kamu berdiri, Ayah mau lihat...”

Aku berdiri dan ayah melepas celanaku hingga ke ujung kaki di lantai.

“Wah, warnanya coklat seperti bulu Ayah ya... Yang mana yang gatel? Di sini?”

“Iya...”

Garukan-garukan mesra itu membuat penis kecil itu semakin tegang.

“Wah adikmu kesenengan ini digarukin gini...”

Sesaat aku jadi malu sendiri, tapi tak apalah, Ayahku sendiri ini.

Matanya menunjukkan hasrat yang membara.

Ketika aku menganggukkan kepalaku, kuluman mesra mulutnya langsung membalut penisku.

Ia memegangi pantatku agar aku tidak terjatuh karena kenikmatan dasyat itu. Aku senang sekali bila ia menjilati kepala penisku dalam kulumannya. Dengan tergesa-gesa dikejar napsu aku menyetubuhi mulutnya yang sangat hangat itu. Tiba-tiba aku berteriak teriak histeris ketika kenikmatan itu datang dan mengguncangkan seluruh jiwa ragaku.

Memang saat ini aku belum dapat mengeluarkan cairan putih nan nikmat seperti yang burung ayah selalu semburkan bila aku membuatnya bahagia.

Ayah membiarkan kemaluanku mengendur dalam mulutnya sebelum ia menciumku dan mendudukkanku di sofa kemudian memelukku dari samping. Tangannya kembali mengelus-elus kepalaku.

Aku menidurkan wajahku pada ketiaknya yang seperti hutan rimba beraroma kejantanan itu.

“Istirahat dulu ya... gimana enak ndak? Tadi sok ngga kangen sama Ayah? Hehe...”

Aku hanya bisa menganguk sambil memajamkan mataku dan memeluk dadanya yang bidang Kemudian aku lingkarkan kakiku pada pahanya bak sebuah guling raksasa.

Ternyata kami berdua terlelap di sana hingga satu setengah jam kemudian.

Aku terbangun terlebih dahulu. Wajah ayahku yang tampan tampak begitu damai.

Perlahan pandanganku mengarah ke bawah tepat di selangkangan dimana burung rajawali itu beristirahat setengah terlelap.

Dengan tidak membangunkan ayah, aku berdiri dan berlutut di hadapan selangkangannya. Jemari-jemari kecilku bermain di kepala penisnya yang indah dan besar itu. Kucoba untuk mengusap ujung jari telunjukku pada lubang kencing yang mulai menganga itu. Seperti dugaanku cairan pelumas bening tak lama kemudian mengalir dan menetes perlahan-lahan turun dari lubang tersebut. Aku sangat menyenangi aroma dan rasa cairan bening itu sehingga dengan segera lidah kecilku mulai bermain di ujung lubang tadi dengan mesranya.

Ketika batang raksasa itu mulai mengeras aku coba mengulum barang kebanggaan ayahku itu. Sayangnya mulut kecilku hanya mampu memasukkan kepala dan sedikit pilar kokoh itu dalam kehangatannya.

Tiba-tiba ayah terbangun sembari menebar senyum mematikan itu.

“Udah bangun yang?”

Aku mengangguk perlahan.

“Ayah kok laper ya?” ujarnya.

“Mau dibikinin roti Yah?”

“Ngga, Ayah cuman pengen segigit pantatmu aja...” jawabnya nakal.

“Sini dong yang...” pintanya agar aku berdiri ke arahnya.

Tangannya menuntunku berdiri di atas sofa. Sebentar ia mengunyah penis kecilku yang mulai berdiri kembali dalam mulutnya sebelum ia membalikkan tubuhku.

“Berikan pemandangan terbaik di dunia pada Ayahmu!” candanya.

Ketika pantatku tepat berada di depan matanya, aku membungkuk sedikit dan melebarkan kedua belah daging kenyal itu dengan kedua tanganku. Lubang kecil di sana sudah tidak sabar menantikan perhatian ayahku. Kudorong sedikit tubuhku ke arah wajah ayahku. Ia sangat suka bila aku “duduki” seperti itu.

“Hmm, wangi pantatmu lezat banget Viktor... Bikin ayah tambah lapar...”

Cairan bening pada ujung penisnya mengalir kembali.

“Ayo jangan malu-malu... dorong keluar... buka lubangnya...”

Latihan yang sudah kujalani berkali-kali bersama ayah membuatku sangat pandai dalam mengendalikan otot-otot anusku.

Ketika lubang itu terbuka bersama sedikit angin yang terdorong dari dalam, ujung lidahnya yang hangat telah berhasil bersarang tepat sebelum bibir anusku menutup kembali dan menjepit ujung lidahnya.

“Oh... ayah... enak... sek... sekali....”

Ujung lidah itu menari-nari di sana dan memandikannya basah dengan liurnya yang hangat. Bekas sisa cukuran dagu dan kumisnya memberikan rangsangan yang sangat luar biasa pada daerah sensitif di sekitar lubang kenikmatan itu. Penis kecilku sudah dalam keadaan sangat tegang.

Setelah bermandikan kehangatan itu, Ayah mengendurkan lubang kenikmatan itu dengan jarinya.

“Wah, udah dua hari ngga ketemu dengan Peter (sebutan ayah untuk penisnya), kok jadi sempit banget gini Vik?”

“Itu namanya kangen Yah...”

Aku mendadak teringat sekitar dua tahun yang lalu ketika Ayah mulai memberikan pelatihan teknik-teknik memuaskan hasrat lelaki padaku. Jari-jemarinya terasa hangat dan terasa seperti memang sudah seharusnya mereka berdomisili di lubang kecil itu. Sejak saat itu hubunganku dengan Ayah semakin hangat dan rapat. Apalagi ketika tubuh kami benar-benar menyatu padu bak layaknya sepasang suami-istri. Aku sangat menikmati permainan cinta ayahku yang handal itu.

Dua tahun sudah berlalu dan bila kami bersama, tiada hari terlewatkan tanpa kami memberikan kasih sayang yang paling dalam seperti hari ini.

“Siap yang?”

Aku beranjak dari sofa itu dan turun ke lantai. Dengan memunggungi ayah aku membungkukkan tubuh sedikit sembari melebarkan belahan selangkanganku.

Tangan kanan ayah memandu barang keperkasaannya ke arah lubang sempit sumber kenikmatanku itu. Kepalanya ia oles-oleskan pada permukaan dubur kecil itu sembari memberikan pelumasan dari cairan beningnya tadi.

Perlahan aku mendudukkan diri pada tongkat keras itu. Kepala jamur besar itu terasa membelah bibir anusku dengan perlahan tetapi dasyat efeknya. Ketika kepala itu berhasil menembus dinding sempit itu, aku memberanikan diri untuk duduk lebih dalam ... dan lebih dalam lagi. Hingga akhirnya barang keramat ayah telah seluruhnya tertanam dalam diriku dan pantatku terduduk nyaman di atas hamparan bebuluan pada dasar kemaluan ayahku.

“Sabar yang... aduh jepitanmu enak sekali anakku...”

Perlahan kurasakan otot-otot kemaluannya makin menegang di dalam anusku.

Ayahku selalu menyetubuhiku dengan cinta. Tak pernah tergesa-gesa. Setiap detik ia nikmati bersamaku. Pantas saja ia tidak butuh wanita lain dalam hidupnya setelah kepergian ibu.

Aku merebahkan tubuhku pada tubuhnya yang kekar. Kedua telapak kakiku sudah menapak pada kedua paha ayah yang besar itu. Perlahan ia memaju mundurkan pantatnya sehingga menimbulkan gesekan-gesekan nikmat di dalam liangku.

Lenganku terlentang dan ia memelukku dari belakang. Permainan kami terasa semakin hangat. Gesekan demi gesekan membuat anusku terasa panas membara dengan gairah.

Jam dinding sudah lebih dari dua kali bergema mengiringi persetubuhan kami sebelum akhirnya pedang keperkasaan ayahku terluluhkan oleh kehandalanku memberikan kenikmatan duniawi kepadanya. Hujaman demi hujaman yang membawa semburan artileri cair nan hangat menyerang seluruh rongga kenikmatanku.

Aku dapat merasakan lelehan sperma yang tidak tertampung dalam liang sempit itu mengalir keluar perlahan seperti lava dan menggelitik buah pantatku dalam perjalanannya.

Aku membiarkan ayah menikmati semuanya dengan tenang. Bukan rahasia lagi bahwa sang pedang yang baru saja memuntahkan angkara murkanya tidak dapat begitu saja tertidur kembali. Kekerasannya masih terasa menempel pada setiap permukaan rongga itu.

“Yah... ayah ngga mau liat?” “Oke... hmm. Oke...” matanya mulai membuka lagi.

Aku berdiri dan perlahan membiarkan pedang itu tertarik dari sarangnya. Suara plop kecil terdengar ketika kepala bundar yang besar itu harus meninggalkan dunia gelap nan hangat tadi.

Terus terang ukuran kemaluan ayah yang raksasa itu dalam penggunaannya selama dua tahun berturut turut dalam layanan anusku telah membuat bibir bawahku agak menyibir. Terutama seusai permainan cinta yang membara seperti tadi.

Aku kemudian berlutut di atas meja di depan sofa. Lalu menungging sehingga ayah dapat melihat lubang yang penuh dengan ceceran mani itu menganga di depan wajahnya.

“Ah indah sekali putraku... you’ve done a great service!”

“Thanks Yah...” jawabku sembari tersenyum kecil.

Ayah kemudian beranjak dan mendekatkan bibirnya pada lubangku yang berangsur-angsur mulai menutup.

Ketika perintah “dorong” telah diberikan, aku merasakan lelehan mani mulai perlahan beranjak dari liang kecilku itu. Ia kemudian menjilati dan menyantap habis air maninya sendiri yang telah ia tanamkan di sana baru saja beberapa menit yang lalu.

Kalau dipikir-pikir memang lucu: Aku terbuat dari benih yang sama yang kini ia berikan dengan penuh cinta juga kepadaku.

Sebelum aku tidur di sampingnya malam itu, ia berbisik di telingaku, “Jangan lupa janjimu tadi...” “Yang mana Yah?” tanyaku setengah mengantuk. “Kapan kamu mau ngenalin Ayah dengan Kakak Pramuka tadi?”

Perlahan kurasakan kemaluannya mulai menggeliat dan tidak malu-malu menggedor lubang pintu belakangku kembali.

“Ayah masih bisa lagi?” “Mmm... he-em... ga papa kan yang?” “Udah selipin aja deh, aku udah rada ngantuk sih, jadi pelan-pelan ya Yah. Tapi jangan kuatir. Seperti waktu kita ke Bandung aja Yah, bengkel aku kan tetep bisa kasih servis bagus walaupun montirnya udah tidur...”

Seringai lebar penuh birahi di wajah ayah terbentuk dari balik punggungku.

(End Part 1)

###

2 Gay Erotic Stories from Bellogetti

Viktor 01: Anak Kesayangan

Peringatan: Karangan ini tidak dibuat untuk semua pemirsa. Beberapa bagian di dalamnya dapat dibilang mengejutkan karena menggambarkan kegiatan seksual antara pria dewasa dengan Viktor, karakter yang masih berada dalam usia pra-remaja. Apabila hal ini bukan tulisan yang dapat Anda terima/ nikmati, silakan click back-button dan pilih ceritera lainnya. Penulis tidak mendorong atau menganjurkan

Viktor 02: Kakak Pramuka

Viktor 2: Kakak Pramuka Peringatan: Karangan ini tidak dibuat untuk semua pemirsa. Beberapa bagian di dalamnya dapat dibilang mengejutkan karena menggambarkan kegiatan seksual antara pria dewasa dengan Viktor, karakter yang masih berada dalam usia pra-remaja. Apabila hal ini bukan tulisan yang dapat Anda terima/ nikmati, silakan tekan back-button dan pilih ceritera lainnya.

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story