Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Tentang Paidjo 03: Melaut

by Fred Batavia


Sidenote: Paidjo is back for more! Terimakasih kepada seorang pembaca yang telah memberikan ide untuk penulisan bagian ketiga ini. Fred. (Garis Pembatas Jeda……..) “Gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis” “Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar sekali!” “Udah lah… sini Dik…” “Nanti Mas sebentar dong, aku belum minum susu lagi hari ini…” Tanpa kompromi Sadikin kemudian menarik tubuh Paidjo dan mendudukkannya tepat di sebelahnya di atas dipan kayu itu. Air maninya masih memuncrat dengan deras dari lubang kecil di penghujung alat kelaminnya. Setelah nafasnya tenang sedikit, ia melanjutkan pembicaraannya, “Dik… dunia ini luas sekali adanya. Kamu kan masih muda. Banyak sekali hal yang dapat kamu pelajari di sana. Tidak cuman ngenyot susu aja Dik… Coba kamu pikirkan, apakah kamu mau jadi nelayan seumur hidupmu seperti kakek dan bapakmu? Apakah tidak ada hal-hal lain yang ingin kau rasakan?” “Kalau setiap hari kamu hanya belajar ngeyot susu terus, ya, ndak akan maju nantinya kamu Dik…” “Jadi maunya Mas Dikin bagaimana?” tatap bocah lucu itu. “Begini dik, saya sudah bicarakan dengan ayahmu tentang hal ini. Kamu harus melanjutkan sekolah.” “Tapi Mas di desa kita sudah tidak ada lagi sekolah lanjutannya…” “Makanya Mas mau ngirim kamu ke kota, supaya kamu bisa belajar banyak. Nanti bila sudah menjadi orang yang berhasil, kamu harus kembali ke desa ini untuk memajukannya…” “Lha di kota saya tinggal dengan siapa Mas?” “Aku sudah pikirkan hal itu. Minggu lalu waktu Mas menjual hasil laut di pasar, aku bertemu dengan langgananku Meneer Suryo dari kota. Kemudian saya berceritera panjang lebar tentang kamu Dik. Nah, karena ia dan istrinya hingga sekarang ini belum juga dikaruniai anak, mereka malah sangat mengharapkan kehadiranmu di sana. Bukan sebagai pekerja di sana. Tetapi sebagai anak didik mereka sendiri. Bagaimana Dik?” “Bapak sudah tau Mas?” “Sudah dan beliau sangat setuju sekali tentang hal ini…” “Mas setuju juga?” “Ya demi kemajuanmu Mas harus setuju lah…” Baru sekali ini saya merasa benar-benar kesepian. Tak ada lagi orang yang mau menerimaku di sampingnya. Bahkan Mas Dikin dan Bapak sendiripun sudah merelakan kepergian saya. Tidak apa, mungkin saya tidak berguna bagi mereka. Saya akan mengabulkan keinginan mereka. “Paidjo, kamu harus tegar. Kamu tidak boleh menangis…” ucap bocah itu dalam hati. “Baiklah Mas, kapan saya berangkat?” jawabnya lemas. “Malam ini juga. Saya akan antarkan adik kepada Meneer Suryo langsung ke kota lewat laut agar lebih cepat…” Secepat itukah mereka harus membuang saya? “Bergegaslah kamu pulang dik, pamit dengan Bapakmu. Aku akan menunggumu di atas kapal nelayanku tepat pada saat magrib tiba” Paidjo mengusapkan kepalan tangan kanannya di bibirnya yang masih bernoda cairan kejantanan kakaknya tadi. Ia merasa sangat sedih, tapi tetap saja ia membenahi pakaiannya dan melangkahkan kaki kecilnya pulang ke rumah Bapaknya. (Garis Pembatas Jeda……..) “Djo, ini semua pakaianmu sudah Bapak kemas di dalam karung goni ini. Belajarlah yang benar nak supaya nanti kamu bisa menjadi orang yang berhasil. Maaf Bapak tidak dapat membawakan apa-apa untukmu pada saat ini.” “Tidak papa Pak. Terimakasih atas doanya. Paidjo pamit dulu…” “Jangan lupakan Bapak dan orang kampung sini Djo!” Paidjo berhenti dari langkahnya, ia membalikkan tubuhnya ke arah gubug sederhananya itu. Ia tersenyum sedih dan melambaikan tangannya pada sang ayah. Tentang kapan ia akan kembali ke kampungnya tercinta ini saja ia tidak tahu, jangankan menerka tentang nasibnya di kemudian hari. (Garis Pembatas Jeda……..) Mentari sore sudah hampir habis tertelan lautan luas pada saat ia menapakkan kakinya di pantai. Beberapa kawan sepermainannya sudah menunggunya di tepi kapal nelayan Sadikin. Sadikin sendiri nampaknya sedang sibuk memeriksa kesiap-layaran kapalnya. “Djo… baek-baek kamu ya di kota…” “Jangan lupakan kami….” Tangan kekar itu menariknya ke atas kapal. Sadikin yang baru saja mandi terlihat sangat segar dan tampan berbalutkan kemeja dan celana sederhana berwarna putih. Sisa-sisa cahaya mentari memantul di pundaknya yang kokoh. Bagaikan seorang malaikat ia terlihat. “Terimakasih teman-teman… sampai jumpa semuanya!!” Dan anak-anak kampung itupun mulai mendorong kapal itu kearah laut. Suara motor tua mulai terdengar dari belakang kapal. “Ah… kampung nelayan… doakanlah aku…..” ucapnya dalam hati. (Garis Pembatas Jeda……..) “Mas Dikin, ini makan malamnya sudah saya siapkan…” “Yuk makan dulu…” Setelah sekitar satu jam mereka berada di laut, Paidjo baru dapat membuka suaranya kembali. Sadikin mematikan motor kapal dan membuang jangkar ke laut. Cahaya bulan mulai bersinar. Malam yang sangat cerah, tak ada angin yang bertiup. Kapalpun hanya terombang-ambing di tempatnya. “Nanti Mas Dikin rindu ndak dengan saya?” “Ya pasti lah Dik… masak ndak rindu? Adik sendiri?” “Sama lah Mas, apalagi terhadap burungnya yang besar itu…” kelakarnya. Mereka berdua tertawa sambil menikmati hidangannya. “Dik-dik… kamu ini lucu sekali orangnya…” “Mas, Meneer Suryo itu baik orangnya?” “Iya Dik, yang pasti dari cara berdagangnya saja, ia selalu bersikap adil walaupun dengan orang-orang kampung seperti kita ini. Kalau beliau tidak baik, masa saya nekat mengirimkan adikku kepada keluarganya di kota?” Setelah istirahat singkat itu selesai, Sadikin kembali menarik jangkar dan Paidjopun mengidupkan mesin motor itu. “Mas ini mesinnya sudah tua sekali?” “Iya dik, maklum lah, bekas dari kapal sekoci Belanda. Kalau baru Mas ndak akan mampu untuk membelinya…” Malam semakin larut. Dan udara terasa perlahan-lahan mendingin. Paidjo-pun mendudukkan dirinya disamping kemudi, dimana Sadikin sedang mengendalikan kapal ini. Iapun memeluk Sadikin dari samping. “Mas dingin Mas…” “Ambil sarungku dan kenakanlah. Setelah itu kamu duduk di sini” Paidjo melakukan perintah kakak angkatnya ini. Beberapa detik kemudian ia sudah duduk di pangkuan Sadikin. “Masih dingin ndak Dik?” “Ndak Mas… tapi…” Kemudian ia tersenyum nakal dan mulai menjulurkan tangannya di belakang tubuh remajanya. “Dik…” Jemarinya mulai meraba kelelakian Sadikin dari depan celana putih itu. “Mas… tolonglah… untuk terakhir kalinya saya ingin minum susu Mas Dikin…” Melihat tatapan mengiba dari adiknya itu ia tak kuasa menolak. Akhirnya ia berdiri tegap. Ia membiarkan Paidjo melucuti celananya. Seperti orang kampung kebanyakan pada jaman itu, Sadikinpun tidak mengenakan celana dalam. Ia membuka kakinya agar Paidjo dapat melepaskan celana itu seluruhnya. Seperti biasa, kelelakiannya tampak mantap menggantung tertidur di atas kedua buah zakarnya yang besar itu. Bau kelelakian mulai menyerbak. Kemudian ia duduk kembali sembari memegang kendali kapal tersebut. Paidjo berlutut dihadapannya. Jemari kecilnya mulai menimang buah zakar yang berat itu. Lama sekali ia menimang buah kenikmatan itu. Seakan membuang waktu ia hanya menatapnya. “Kenapa Dik?” tanya Sadikin. “Ndak papa Mas, saya hanya ingin mengingat dengan baik semua benda berharga milik Mas Dikin ini” Seakan dunia hanya milik mereka berdua, suasana di tengah laut malam itupun sunyi senyap. Tak satu suarapun kecuali degup nafas mereka berdua yang terdengar. Srek. Srek. Srek. Suara belaian tangan Paidjo terdengar ketika harus menyentuh bebuluan yang kasar di bawah buah kelelakian Sadikin. Jemari kecilnya membelai dengan halus. Ujung jarinya pun menjelajah dalam, ketengah hutan hitam yang lebih lebat tepat disekitar lubang dubur Sadikin. Tanpa satu kata yang terucapkan, batang tersebut mulai mengeras perlahan-lahan. Sementara tangan kirinya menyentuh permukaan lubang kebahagiaan itu, tangan kanannya mulai menggengam kemaluan kakak angkatnya dengan mesra. Benda tidur itupun terbangun dengan gagahnya. Kepalanya yang besar memantulkan remang-remang cahaya rembulan. Irama nafas Sadikin mulai bertambah cepat. Kini Paidjo menggenggam kelelakian itu dengan kedua belah tangannya. Ia mulai menciumi sekujur batang yang keras itu. Lidahnyapun mulai dengan perlahan ia julurkan. Dengan sangat perlahan ia menggiring ular itu melewati bibir kecilnya ke arah rongga mulutnya. “Arghhhh…..” Sadikin mengeluarkan desis kecil. Paidjo sangat menikmati santapan terakhirnya ini. Ia melakukan semuanya dengan perlahan-lahan. Ujung jemarinya masih berada di bawah buah raksasa itu mempermainkan dan membelainya dengan lembut. Jemarinya yang lain menggenggam dasar kokoh menara daging itu. Kini mulutnya ia benamkan di salah satu buah zakar itu. Bebuluan mulai mengusik rongga mulutnya. Tak lupa ia memberikan kasih sayang yang sama kepada buah zakar yang lainnya. Dengan mesra ia memisahkan kedua kantung hangat pria itu. Satu persatu ia genggam di tangan yang berbeda, sembari ujung jemarinya mengusap-usap daerah sensitip itu dengan pasti. Mulutnya kembali beraksi mengulum monster besar itu. Sadikin secara alami mulai menggerakkan bokongnya dan menghujamkan alat kelaminnya ke mulut Paidjo. Suara nafas mereka mulai tersenggal-senggal. Kedua buah zakar tersebut mulai beranjak naik kearah kehangatan tubuh Sadikin. Paidjo yang sudah sangat terlatih itu dengan sigap menanggapi keadaan. Ia berhenti dari gerakan maju-mundurnya. Dengan tetap menggenggam buah zakar Sadikin ia merelakan kakak angkatnya dengan birahi tingginya menghujami mulutnya dengan alat vital kebesarannya itu. Kesunyian malam terusik dengan teriakan Sadikin yang menggema… “Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh…………..” Sadikin menikmati semburan demi semburan air mani hangat pria itu dalam mulutnya. Rasanya sangatlah manis dan nikmat. Obsesinya masih belum juga hilang. Sedikit demi sedikit ia menelan cairan kental itu melalui kerongkongannya yang kemudian langsung menghangatkan usus dan lambungnya. Karena volume semburan yang sangat besar, banyak cairan lelaki tersebut yang akhirnya mengucur melalui sela-sela bibirnya dan menetes melalui pipi kanannya. Sadikin terkapar di lantai kayu itu. Tubuhnya terasa lunglai seperti seluruh enerji kehidupannya sudah terserap oleh Paidjo. Bocah itupun membiarkan batang berwarna hitam kecoklatan itu melemas di dalam mulutnya. Ia merasa senang dapat membahagiakan kakaknya malam ini. Sadikin kemudian menarik wajah anak itu dan menciumnya. Ia masih dapat merasakan kentalnya cairan maninya di mulut anak itu. Aroma esensial Sadikin menyerbak dari gigi geligi kecilnya. Mereka terjebak dalam ciuman mesra itu cukup lama. Kemudian hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya menjadi kenyataan. Dengan mesra ia melucuti kemeja dan celana Paidjo. Entah mengapa kali ini ia tidak berontak seperti biasanya. Kemudian ia pun menanggalkan kemeja putihnya yang basah karena keringat. Ia menciumi sekujur tubuh jangkung anak itu dengan lembut. Mereka berbaring sebelah-menyebelah. Lidahnya tertanam dalam mulut Paidjo. Tangan kirinya membelai pinggang lembut Paidjo dan tangan kanannya merebak kedua belah kaki bocah itu dan membelai-belai kedua belahan pantat yang kenyal itu. Ketika lidahnya mulai membasahi dan menghangatkan puting kecil Paidjo, bocah tadi mengerang. Apalagi tangan kanannya kini mulai menjelajah menyisir daerah lubang kenikmatan Paidjo. Tubuh mulusnya mulai berkeringat. Sadikin sudah beranjak berada di bawahnya. Ia merasakan kedua tangan kekar Sadikin mulai menggiring kedua belahan pahanya naik. “Pegang Dik…” Punggungnya berkeringat dan bertumpu pada lantai keras itu. Ia kini memegang kedua kakinya sendiri di awang-awang sehingga kemaluan dan liang anusnya terbuka dengan jelas memancarkan keindahannya tepat di depan wajah Sadikin. Perlahan Sadikin mulai menjilati pahanya yang empuk. Kemudian ia mulai menciumi dan menjilati garis pemisah paha dan pantat anak itu. “Mas…” suaranya terdengar terengah-engah. Sedikit demi sedikit Sadikin menuju ke arah persimpangan jalan itu. Lidahnya kini ia sisirkan di atas anus bocah itu. Wewangian yang indah itu mulai tercium. Ia menjilatinya dengan mesra. Dan seperti bibir yang sedang dicium, bibir bawah itupun membuka dan mengatup dengan nikmatnya. Dengan paksa Sadikin mencoba memasukkan lidahnya kedalam liang yang membara itu. Paidjo mengalami kenikmatan yang luar biasa. “Dik, enak ndak?” “Jangan berhenti mas… tolong… Ayo masuki aku lagi…” Sepertinya bocah tersebut sedang terserang musim birahi. Sadikin menurutinya. Ia kembali menusuk-nusukkan lidahnya kedalam pembukaan hangat di lubang sempit itu. “Benar-benar membuatku bernapsu…” pikir Sadikin. “Bocah ini masih perawan dan tak satu helai rambutpun kutemukan di sekitar kelamin dan duburnya…” Kemudian ia membasuhi jari tengahnya dengan ludahnya. Perlahan ia masukkan ke dalam dubur manis Paidjo. Sadikin mengerti dengan pasti bagaimana ia harus memainkan jarinya di sana. Hal itu membuat Paidjo terguncang-guncang sembari mengerang dengan penuh birahi. Sambil bermain dengan jemarinya di dalam lubang sempit itu, Sadikin menjilati buah zakar polos anak itu. Keduanya dengan mudahnya dia hangatkan di dalam rongga mulutnya. Lidahnya bermain dengan terampil membasahi seluruh kantung mani anak itu. Paidjo makin mengerang ketika dengan mudahnya Sadikin memasukkan seluruh kejantanan bocah itu di dalam mulutnya. Kepala jamurnya makin mengeras di sana. Ia menggerakkan mulutnya naik turun. Jarinya sudah berhenti melakukan gerakan maju-mundur di lubang itu. Sedotan-sedotan mesra mulai ia lakukan bertubi-tubi pada penis kecil itu. Jarinya mulai menggeliat di dalam anus panas Paidjo kembali. Ia tau bahwa saatnya sudah tiba. Cairan bening tersebut menghantam dinding mulut Sadikin, dengan mudah ia telan kesemuanya. Air mani bocah itu terasa sangat menawan pada indra pengecapannya. Tubuh Paidjo kembali terguncang-guncang secara alami hingga pada tetes terakhir yang dapat ia berikan untuk kakaknya. Kemudian ia menangis. “Lho kenapa Dik?” “Maaf Mas, barusan Paidjo ngga tahan lagi, Paidjo kencing di dalam mulut Mas…” “Hus ngawur kamu! Itu bukan air seni, tapi itu air susumu sendiri yang sering kamu ambil dari tubuh Mas Dikin.” “Wah rasanya senang sekali ya Mas…” “Memang benar, makanya Mas rela memberikan air susu Mas untukmu berkali-kali dalam sehari. Lho memangnya kamu belum pernah mengeluarkan air mani sebelumnya?” “Belum, baru kali ini Mas…” “Oh ya?” Jawaban polos itu terserap di pemikiran Sadikin dengan cepat. Kini napsu birahinya menjadi bangkit kembali. “Dik… sebelum berpisah Mas ingin memberikan sebuah kenang-kenangan buat kamu…” “Apa Mas?” tanyanya “Hmm, ini… Mas ingin meninggalkan benih Mas di dalam tubuhmu… Emm… kamu keberatan tidak bila Mas ingin bersetubuh denganmu?” Dengan kalimat itu Sadikin mulai membelai-belai putting Paidjo, ia menelusurinya jauh kebawah sembari menaik turunkan penis kecil itu di antara jari telunjuk dan ibu jarinya. “Emm… caranya Mas?” “Kamu capek ndak… masih mau main?” “Ya masih dong…” Di situlah letak kebahagiaan bocah lelaki pada awal masa remaja itu. Mereka dapat membangkitkan gairah mereka kapan dan dimanapun saja. Sadikin tersenyum ketika melihat bahwa bocah tersebut sudah mempertunjukkan ereksinya sekali lagi. Perlahan ia menarik anak itu ke atas kasur di lantai kayu itu. Sadikin mengajaknya berlutut di depannya. Ia menciumi leher dan pundak bocah itu dengan manja. Tangannya mempermainkan kedua puting Paidjo dengan ganas. Kemudian ia mendorong tubuh anak itu ke arah ranjang sehingga tangan dan kakinya menopang tubuhnya. Sekali lagi ia menciumi bokong anak itu dengan rakus sebelum ia mempermainkan jari-jemarinya kembali di kedalaman lubang kenikmatan itu. “Siap Dik…?” “Pelan-pelan Mas…” Kepala besar yang sudah licin berlumurkan liur itu mulai menerobos dinding perbatasan. Lubang perawan yang sangat sempit seperti tidak menginginkan adanya serangan. Dengan sangat perlahan ia memasuki tubuh Paidjo. Waktu terasa berhenti. Sinar rembulan semakin memuncak. Kesunyian semakin mencekam. Dengan cermat ia memperhatikan jepitan anus adik angkatnya itu. Bila terasa sudah agak santai, beberapa centimeter ia masukkan lagi. Limabelas menit telah mereka buang hingga akhirnya Paidjo dapat merasakan belaian bulu kelamin Sadikin pada bokong mulus dan kenyalnya. Kini batang monster itu sudah sepenuhnya masuk. Sadikin takut untuk bergerak. Ia takut menyakiti adik yang baru saja kehilangan keperawanan ini. “Sakit dik?” “Ndak Mas… monggo…” bocah itu berbohong. Ia akan melakukan apa saja untuk membahagiakan Sadikin. Air matanya menetes kembali. Tentu saja Sadikin yang dibelakanginya tidak mengetahui hal ini. Kemudian ia mulai memaju mundurkan batang raksasa itu di dalam lubang sempit Paidjo. Rongga anus remaja pria itu terasa nyeri dan lelah. Sadikin sudah menggagahinya hampir satu jam hingga saat ini. Ia mulai mempercepat pergerakannya. Terkadang batang itu tertarik keluar sepenuhnya untuk dihantamkan segera kedalam liang kecil itu. Pada saat itu justru keadaan berubah. Paidjo merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Ketika seluruh tubuh ular itu bergerak dengan kasar di dalam duburnya, penis kecilnya malah mengeras kembali. Berkali-kali kepala jamur raksasa itu menyentuh titik kenikmatannya, hingga pada akhirnya ia tak kuasa menahan kebahagiaan itu… “Aaaaahhhhhhhhhhhh……..” Paidjo mengalami orgasme yang kedua dalam malam itu. Ketika cipratan demi cipratan air maninya sedang mengucur keluar, otot-otot anusnya pun segera bereaksi dengan memijat, menyusu dan mencengkeranm alat vital Sadikin lebih erat lagi. Jepitan kencang itu dengan semena-mena telah memaksanya menuju nirwana ke tujuh malam itu. Tetes keringat mulai bercucuran dari peningnya. Ia mempercepat gerakannya, menurunkan tubuhnya sehingga bersatu dengan tubuh Paidjo. Gerakan Sadikin bertambah cepat sebelum menyemburkan seluruh cairan lembut dan kental nan hangat yang tersisa dari tubuhnya di dalam rongga anus Paidjo. Kehangatan yang luar biasa ia rasakan di dalam perutnya. Burung yang besar itu telah menamkan benih cintanya pada diri Paidjo. Dirinya terasa sangat penuh. Keduanya mengucurkan air mata. Baru saja cinta mempersatukan mereka, kali inipun mereka berpisah. Di kejauhan cahaya lampu dari pelabuhan tua itu mulai berpijar. Tanpa sadar perahu mereka dengan sendirinya telah menghantarkan mereka mencapai tempat tujuan. “Dik bangun…” ujarnya seraya memeluk bocah itu dengan kuat. Seperti tidak mau terputuskan oleh keadaan. Kelamin pria itu masih tetap dalam keadaan kokoh bersenggama dan bersarang di kedalaman liang hangat Paidjo yang kini mulai lelah. Paidjo membalikkan wajahnya dan memandangi wajah elok Sadikin dengan cermat. Sebentar lagi tak ada pria gagah perkasa yang akan terus melindunginya dan memberikan kenikmatan padanya setiap saat. “Tak lama lagi kita akan tiba di pelabuhan kota….” Paidjo belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Kota pelabuhan itu dijuluki dengan nama Semarang… (Bersambung) (Garis Pembatas Jeda……..) Terimakasih telah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Bila Anda memiliki pesan, kesan atau ide cerita untuk kelanjutan petualangan ini, silakan langsung saja kontak saya di fredbatavia@hotmail.com

###

13 Gay Erotic Stories from Fred Batavia

Agenda Iblis

“Slamet malam Pak... permisi...” Justru seakan tidak menunggu izin dari kami, pemuda tanggung itu langsung saja menggenjrengkan dawai logam gitar bekasnya itu. “Cilakak-nya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...” nada yang tidak buruk itu ia selewengkan dari sebuah lagu yang sedang populer pada waktu itu. Sebuah grup band domestik papan atas baru saja merilisnya. Dengan berwajah

Bayangan Corcovado Bag.1

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Part 1. Welcome to the Club. DUBRAK. “Wah, maap ya… tadi saya terburu-buru jadi ngga ngeliat.” “Oh ya ngga papa lah.” “Eh, tau dimana tempat daftar klub

Bayangan Corcovado, Bag 2

Part 4. Corcovado. DEG. “Duh smoga tadi dia gak sadar…” pikir Jon-jon dari sofanya. Beberapa menit kemudian Darwin yang duduk dilantai bergeser mendekati Jon-jon. Pundaknya menyentuh lutut Jon-jon. DEG. “Aduh… ngapain sih deket-deket…” Jon-jon mulai mengeluarkan keringat dingin. Sake yang dia bawa tadi sudah habis sampai 4 kaleng diantara mereka. “Uaaaaaahhhhhhhhhhhhh…. Ngantuk

Bayangan Corcovado, Bag 3

Part 7. Problema. Tanpa disangka saat itu pula Darwin terbangun, menyaksikan pemandangan spektakuler di depan matanya. “Hmppp…..” CPROT. “Srrrp. Dar…. So… sorry banget……. This is not what you think I am doing…….” Barang keperkasaannya masih kokoh menggeliat di dalam mulut Jon-jon. Dengan sigap Darwin menepiskan tubuh Jon-jon dari sisinya. Kemudian tergesa-gesa ia mengumpulkan

Misteri Siluman Terbang, Bag 1

Sidenote: Terus terang saja karangan yang saya buat ini tidak berisikan hal yang berbau porno. Tetapi mungkin beberapa karakter gay yang di-“pekerjakan” kembali dari kisah “Bayangan Corcovado” dapat menjadi penghibur hati dalam kisah misteri ini. Bagi yang belum pernah membacanya, Bayangan Corcovado, mungkin dapat lebih memperkenalkan karakter-karakter dalam tulisan ini. Enjoy. Fred.

Misteri Siluman Terbang, Bag 2

Part 5: Rahasia Lukisan. Satu jam kemudian Kapten Polisi Jose Gomez mengetuk kamar mereka. “Selamat malam Pak, saya mendapat surat perintah (ia memberikan surat itu pada Jon-jon) untuk membawa Saudara Ben Figeroa ke kantor kami malam ini” “Lho… lho kenapa Pak?” “Pasalnya pemilik perkebunan sudah memberi tahu kepada yang bersangkutan untuk tidak memasuki wilayah ini dan tidak

Selamat Ulang Tahun ke 475 Jakarta!

For my pal, B, hope you enjoy it! Kejadian lucu yang menimpa kawan saya si B tadi, tentu saja disajikan dengan bumbu fiksi sedikit terlebih dahulu sehingga dapat lebih menghibur. Nama dan lokasi sudah diubah. Kepada Redaksi yang terhormat, Pada kesempatan ini, saya, Rahmat, ingin mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke 475 kepada ibukota Jakarta yang telah menjadi rumah saya selama

Tentang Paidjo 01: Genesis

Due to international translation technology this story may contain spelling or grammatical errors. To the best of our knowledge it meets our guidelines. If there are any concerns please e-mail us at: CustomerService@MenontheNet. Perkenalkan kawan-kawan, nama saya Paidjo. Sebenarnya namaku yang sebenarnya adalah Ade Marjo alias Ade anaknya Pak Marjo. Karena di kampung saya tidak ada yang

Tentang Paidjo 03: Melaut

Sidenote: Paidjo is back for more! Terimakasih kepada seorang pembaca yang telah memberikan ide untuk penulisan bagian ketiga ini. Fred. (Garis Pembatas Jeda……..) “Gawat ini, saya harus berbuat sesuatu” pikirku. “Sini dulu lho Dik, jangan ngenyot terus lah…Lihat itu bibirmu semakin hari jadi semakin merah dan tipis” “Ya bagaimana Mas? Orang botol susunya berurat kencang dan besar

Tentang Paidjo 04: 1939

Kerlipan cahaya petromaks dari kapal nelayan dan rumah penampungan ikan di pelabuhan semakin terlihat. Denyut nafas merekapun semakin tersenggal-senggal. Sering kali memang hal ini dirasakan para pria pada umumnya. Walau benak tak mengijinkan, napsu birahi dimenangkan di atas segalanya. Kelaminnya yang masih mengeras di dalam rongga sempit itupun mulai ia panaskan kembali bak mesin

Tentang Paidjo 05: Karl

Bergegas ia mengemasi pakaiannya untuk segera memberi penghormatan pada ayahnya di kampung. Ketika ia tiba di ruang jamuan Keluarga Suryo, keduanya nampak prihatin dengan berita buruk ini. “Pak, Bu, saya pamit untuk pemakaman ayah di kampung…” “Baiklah Nak, mobil sudah saya suruh berjaga di depan…” “Saya naik kereta saja Pak, setelah itu akan ada dokar yang menjemput dari kampung

Tentang Paidjo 06: Invasi

Sesuai janjinya Karl datang tepat pukul 10 di pagi hari Sabtu itu. Suara deru sepedamotor perang itu seperti gelegar petir yang mengacaukan keheningan kompleks kediaman keluarga Suryo. “Hai apa kabar?” sapa Paidjo. “Semuanya baik Paidjo, saya rindu sekali padamu....” “Iya saya juga Karl, gimana? Mau pergi sekarang? Tapi filmnya khan baru diputar jam satu siang nanti?” “Gak papa...

Tentang Paidjo, Bag.2: Obsesi

Cuplikan dari, Bag 1: Ketika ia membuka kelopak matanya, sarungnya telah tersingkap. Paidjo sedang sibuk membersihkan hasil yang tersisa di kepala kemaluannya dengan lidah kecilnya yang berbakat. Batang zakar yang melemas itu terus ia jilati, begitu pula dengan kedua buah kelelakian yang hangat itu. “Mas… burungmu itu benar-benar enak untuk disantap, apalagi dengan akhiran saus putih

###

Web-04: vampire_2.0.3.07
_stories_story