Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

And They Live Happily Ever After

by Ricky R


Hari Sabtu, tanggal 22 November 1997 itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku. Jam 6 pagi, aroma kopi susu hangat menggelitik hidung. Mataku perlahan-lahan terbuka, dan tampaklah di hadapanku Robert yang sedang tersenyum manis. "Hi! 'Met pagi. Gimana tidur kamu?", kata Robert memulai pembicaraan. "Mmm, nikmat. Aku tidur lelap sekali. Kamu?" "Hehehe… Yah, lumayan. Nih, minum dulu kopinya." "Thanks. Mmm enak juga," pujiku. Kuminum beberapa teguk lagi, sambil melanjutkan percakapan dengan Robert. Tak pernah kusangka, hubungan kami berdua menjadi sangat dekat hingga saat ini. Jujur saja, pekerjaan ini sudah kujalankan kira-kira 6 bulan. Banyak pria yang sudah kulayani, sebagian besar dari golongan berada. Diantara mereka, ada juga yang sudah berumah tangga. Tapi, mereka tetap tidak mendapat kepuasan yang mereka sungguh inginkan. Aku selalu berusaha untuk profesional. Terus terang, ada beberapa klien yang menarik perhatianku. Mereka tampan, bertubuh bagus, dan ramah. Tapi, aku tetap menjaga profesionalitasku. Jangan sampai hubungan 'bisnis' berkembang lebih jauh. Selama 6 bulan itu aku cukup berhasil, sampai akhirnya aku bertemu Robert. Aku bertemu dengannya tanggal 21 November, malam sebelumnya. Seperti biasa, aku menunggu tamu di café Hotel H (sengaja dirahasiakan). Malam itu, aku memakai kaos hitam ketat dengan jeans biru tua. Empat puluh menit sudah aku menunggu, tapi tak ada juga yang siap membawaku ke kamar. Tadi, sempat ada seorang turis Belanda yang datang. Wajahnya sih lumayan keren, tetapi kami tidak mencapai kesepakatan harga, dan hanya mengobrol saja. Cukup membuang-buang waktu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh tepat. Aku pesan segelas Coke lagi, dan melihat-lihat meja yang lain. Tiba-tiba, seorang pria datang ke arahku. "Anda, Roy?", tanyanya. "Ya benar. Hmm, silakan duduk." Kami bersalaman tangan, dan mulai bercakap-cakap. Katanya, namanya Robert, dan ia dikenalkan oleh temannya. Masih single, dan yang lebih bagus lagi, ia tidak terlalu memusingkan soal tarif. Kami mengobrol sejenak, lalu segera memesan kamar. Kamar terletak di lantai 6. Dalam lift, kami cuma berbasa-basi. Sepertinya, dia agak pemalu. Padahal, wajahnya cukup ganteng. Bodinya juga lumayan keren. Katanya sih, ia indo-Australia. Yah boleh juga lah. Sampai di kamar, dia langsung menuju ke kamar mandi, sementara aku bersiap-siap. Aku melepaskan kaos, dan celana panjangku. Aku memandang ke cermin hotel. Hmm, otot bisepku kelihatannya agak kendor. Tapi, secara keseluruhan masih oke sih. Aku memang terlahir dengan tubuh yang bagus. Sejak kecil, badanku lebih tinggi yang lain. Rambut, dan alisku lebat. Dada, dan perutku ditumbuhi bulu-bulu halus, yang menurut para tamu, membuatku punya daya tarik tersendiri. Wajahku juga lumayan tampan. Banyak cewek-cewek di kampus yang mencari perhatianku. Tapi, menurutku yah… mereka hanya akan membuang-buang waktu. 3 menit kemudian, Robert keluar dari kamar mandi. Ia membuatku cukup terkejut. Ternyata bodinya amat mengagumkan. Kulitnya yang agak gelap, ditaburi bulu-bulu yang cukup lebat di bagian dada, perut, dan ketiak. Otot-otot tubuhnya keras, dan ukuran kontolnya alamaaak… membuatku ngiler. Wajahnya tampak sangat liar saat itu. Dia memandangku dengan penuh kegairahan. Aku tak menyangka pemuda yang tadi tampak sangat pemalu bisa berubah 180 derajat seperti ini. Tanpa basa-basi, ia langsung naik ke ranjang. Aku terbengong-bengong cukup lama, sebelum akhirnya memulai 'pertunjukanku'. Biasanya memang aku mulai dengan striptease. Aku menari dengan gerakan-gerakan yang erotis. Kadang-kadang kuselingi juga dengan suara-suara yang menggoda. Kuraba putingku, lalu tanganku bermain-main di daerah perutku yang sudah membentuk 6 kotak kekar. Sementara, Robert masih menatapku sambil meraba-raba kontolnya. Kulanjutkan dengan membuka celana dalamku perlahan-lahan. Kontolku sudah mengeras kira-kira 16 cm. Robert mendesah lembut. Lalu, kukocok lambang kejantananku itu perlahan-lahan. Kubelai jembutku, kemudian kukocok lagi semakin kencang, semakin kencang, dan... ketika aku hampir mencapai puncak, kuhentikan perlahan-lahan. (Hey, aku tak mau menelantarkan tamuku begitu saja.) Robert yang kini terpejam matanya, tampak sangat menikmati atraksiku tadi. Kepala kontolnya dipenuhi precum. Perlahan-lahan, aku naik ke ranjang, dan mulai mengecup bibirnya. Robert membalasnya dengan ciuman yang membara. Kami melakukan french kiss sekitar 5 menit. Kami berpelukan sangat erat, dan tangannya meremas-remas pantatku. Aku berteriak keasyikan, dan menciumnya dengan penuh nafsu. Aku mulai menjilat lubang telinganya, sementara Robert mendesah kenikmatan. Kujilat dagunya, kemudian leher, dan dadanya. Rambut lebat yang memenuhi tubuhnya membuatku makin bernafsu. Kujilat puting kirinya, sementara tanganku bermain-main dengan yang sebelah kanan. Ia mulai berteriak-teriak nikmat. Lalu, kuganti bermain dengan puting kanannya yang sudah mengeras. Kujilat-jilat, dan kugigit perlahan, membuat teriakannya semakin kencang. Puas bermain di bagian atas, aku mulai menjilat perutnya yang juga cukup kekar. Bulu-bulu yang tumbuh memenuhi perutnya itu menjadikan aku semakin bergairah. Kujilat lubang pusarnya, dan Robert mulai memejamkan matanya, sambil meremas-remas rambutku. Kulanjutkan 'perjalananku' ke kontolnya yang sudah menjulang tinggi. Kujilat, dan kugosok-gosokan tanganku pada 'batang'-nya yang sudah licin oleh precum itu. Tubuh Robert mulai menggelinjang, dan ia mendesah keasyikan. Kuhisap kontolnya yang besar itu, dan kujilat-jilat ujungnya. Ia berteriak semakin keras, begitu pula aku menambah kecepatanku. Semakin kencang, dan akhirnya sambil berteriak, kontolnya mengeluarkan muncratan cairan putih berkali-kali ke wajahku. Belum sempat aku berbuat apa-apa, Robert segera menarik wajahku, dan mencumbunya dengan penuh nafsu. Sesekali ia menjilat sisa-sisa spermanya di wajahku. Kami berciuman cukup lama, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan getaran-getaran aneh dalam jiwaku. Robert menciumku dengan penuh perasaan. Aku tahu, ciuman itu berarti lebih dari sekedar seks. Ada perasaan khusus dalam ciumannya yang tidak kumengerti. Tak lama kemudian, giliran Robert yang melayaniku. Ia menyuruhku berdiri, dan kami melakukan posisi 69. Ternyata, jilatannya lebih maut dariku. Tak lebih dari 5 menit, aku sudah keluar dan ia menelan seluruhnya. Kami berdua terbaring kelelahan. Robert tersenyum padaku, seakan menunjukkan ia sungguh puas dengan apa yang kulakukan. Kami mulai mengobrol tentang pekerjaanku, dan kehidupannya. Bagaimana ia tidak ingin lagi terikat dengan wanita, bagaimana hari-harinya di Sydney, dan banyak hal-hal lainnya. Menurutnya, orang tuanya sangat pengertian terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai seorang gay, meskipun agak terkejut juga ketika Robert pertama kali coming out. Hampir 2 jam kami mengobrol. Robert membuatku agak iri. Begitu mudahnya ia menjalani hidup ini, dan begitu terbukanya ia tentang seksualitasnya. Sesuatu yang sangat mustahil kulakukan. Kami juga berbicara banyak mengenai bekas pacarnya, seorang wanita yang tega mencampakkannya begitu saja. Robert tampak sangat sedih ketika aku mulai bertanya-tanya soal gadis itu. Matanya terlihat berkaca-kaca, dan suaranya gemetar. "Roy, I'm sorry. Saya nggak mau bicara lagi soal dia." "Nggak apa-apa. Saya tahu kamu begitu terguncang karena dia." "Sorry ya… Saya benar-benar nggak mampu…" Entah mengapa, aku segera memeluk Robert dengan erat, sementara ia menangis pilu. "Rob, saya mengerti kalau kamu sangat sedih. Tapi, kamu harus mencoba melupakan dia. Apa kamu mau begini terus?" "Itu sulit sekali, Roy. Sejak dia pergi, hidup saya begitu kosong. Sepertinya, saya tak pernah merasakan kebahagiaan lagi." "Rob, masih banyak orang yang mencintaimu…" "Siapa?… Siapa Roy, tolong katakan pada saya. Siapa??" Terus terang, aku sangat kebingungan. Penderitaan yang dialaminya tampaknya sangat sulit untuk dihapus. Jarang sekali aku larut dalam kesedihan orang lain seperti saat itu. Aku begitu kasihan padanya, tetapi bukan itu saja… aku bisa merasakan ada sesuatu yang lain. Ada perasaan khusus. Sesuatu yang selama ini aku coba untuk jauhi. Perasaan cinta. Cinta yang begitu dalam… Robert masih menangis. Kupeluk tubuhnya semakin erat, dan akhirnya sepanjang malam itu, kami tidur berpelukan. Chapter II Pagi ini, 22 November 1997, Robert tampak masih sedih. Dalam percakapan kami, saya berusaha untuk tidak menyinggung soal mantan pacarnya. "Ehm Roy… Nanti siang, kamu sudah bisa ambil bayaran kamu", kata Robert sambil tersenyum. "Robert… sebenarnya saya tidak terlalu memikirkan soal itu." "Ah sudahlah, kamu nggak usah malu. Masalah uang, itu bukan soal besar bagi saya. Lagipula…" "Saya serius, Rob", kataku memotong pembicaraan. "Eh, maksud kamu?", tanyanya kebingungan. "Rob… Selama setengah tahun saya menjalani kehidupan seperti ini, saya belum pernah mengalami perasaan seperti kemarin malam…" "Roy, saya minta maaf tentang semalam", bisiknya dengan kepala tertunduk. "Tidak Rob, kamu nggak perlu. Sebailknya, saya yang harus minta maaf." "Maaf karena apa?" "Karena, saya sudah… saya mencintaimu…" "What?" "Sekali lagi, I'm sorry. Saya nggak bermaksud mencampuri kehidupan kamu. Saya benar-benar tidak ingin…" Belum sempat aku melanjutkan, Robert sudah menciumku dengan begitu lembut. Aku membalas ciumannya, dan kami bercumbu dengan penuh gairah. Robert meremas-remas rambutku, sementara tanganku bekerja membuka kimononya. "Ahh… Roy… ehh… Hari ini, kamu telah membuat saya jadi orang paling bahagia di dunia", desah Robert. "Tidak Rob, bukan aku. Kamulah yang sudah begitu baik pada saya. Kamu mau menerima cinta saya…" Kami berciuman dengan begitu mesranya, sampai kami berdua tertidur kembali. Jam meja kamar sudah menunjukkan pukul empat sore. Kulihat ke sisiku, Robert masih tertidur dengan lelap. Dengan senyum yang menghiasi wajahnya, ia tampak sangat tampan. Perlahan-lahan kukecup bibirnya. Robert pun terbangun. "Roy, aku cinta kamu juga…" "Ssst, aku tahu Rob. Sekarang, kamu harus mandi dulu. Setelah itu, kita jalan-jalan, dan makan malam." "OK…" Robert masuk ke kamar mandi lebih dahulu. Tiga menit kemudian, aku menyusulnya, dan kami mandi bersama. Aku menyabuni punggungnya, sementara tangannya bermain-main di pantatku. Jari-jarinya menggelitik lubang anusku, membuat kontolku semakin tegang. Perlahan-lahan, aku memasukkan kontolku ke dalam lubangnya. "Hati-hati Roy. Aku belum pernah…" "Tenang saja, kau akan merasakan kenikmatan yang luar biasa." Lubang anus Robert yang masih kencang membuatku begitu bernafsu. Kutekan kontolku sedikit demi sedikit. Robert mulai berteriak-teriak kesakitan. "Roy… sakit Roy…" "Heh… heh…Tahan sedikit… Aku yakin kamu bisa…" Ketika setengah dari kontolku sudah masuk ke dalam lubangnya, aku mulai menambah kecepatanku. Robert yang semula tampak sangat kesakitan, kini mulai menikmatinya. Kutambah kecepatanku. Kontolku bergerak keluar masuk semakin kencang, dan akhirnya aku memuncratkan cairan cintaku ke dalam lubang anus Robert. "Ahhhhh… Rob, I love you!!!!", teriakku. Aku menjadi sangat lelah, dan kami berciuman lagi. Licinnya busa sabun yang memenuhi tubuh membuat kami semakin bergairah. Setelah puas bercumbu, Robert melepaskan bibirnya. "Roy, I wanna fuck you…" "Dengan senang hati Rob," kataku sambil terengah-engah. Robert perlahan-lahan memasukkan kontolnya yang kira-kira 18 cm panjangnya itu ke dalam lubang anusku. Kontolnya hampir masuk seluruhnya, dan ia mulai menggerakan tubuhnya. Gerakannya yang semakin cepat membuatku berteriak-teriak nikmat. Teriakanku memuncak ketika pada akhirnya, muncratan demi muncratan air maninya mengisi lubangku. Kami melakukannya beberapa kali lagi, sebelum akhirnya sekitar pukul lima lewat dua puluh menit, Robert memutuskan untuk keluar dari kamar mandi, dan berganti pakaian. Sore itu, kami seperti sepasang suami istri yang dimabuk cinta. Sepasang pengantin yang sedang berbulan madu, yang sama-sama dikuasai nafsu birahi. Malamnya, kami bersantap di restoran hotel yang mewah. Ditemani sinar lilin, kami seakan menjadi pusat perhatian tamu-tamu lainnya. Tetapi, kami berdua tidak peduli. Dunia seakan sudah menjadi milik kami. Sambil menikmati hidangan, Robert berbicara soal rencananya membawaku pindah ke Australia. Tanpa pikir panjang, aku segera menyetujuinya. Robert berjanji dalam waktu kurang dari sebulan, semuanya sudah akan beres. Robert juga berkata aku tak perlu bekerja lagi, dan mengenai kuliah, aku bisa melanjutkannya di sana. Dan kini, setahun sudah berlalu sejak pertemuan kami yang pertama. Kami telah membeli sebuah rumah di Sydney. Robert bekerja, sementara aku meneruskan kuliah. Hari demi hari telah kami lalui dengan penuh kebahagiaan. Hanya saja, kadang-kadang aku berpikir, seandainya aku tak pernah bertemu Robert, akankah hidupku sebahagia ini?

###

1 Gay Erotic Stories from Ricky R

And They Live Happily Ever After

Hari Sabtu, tanggal 22 November 1997 itu adalah salah satu hari terindah dalam hidupku. Jam 6 pagi, aroma kopi susu hangat menggelitik hidung. Mataku perlahan-lahan terbuka, dan tampaklah di hadapanku Robert yang sedang tersenyum manis. "Hi! 'Met pagi. Gimana tidur kamu?", kata Robert memulai pembicaraan. "Mmm, nikmat. Aku tidur lelap sekali. Kamu?" "Hehehe… Yah, lumayan.

###

Web-02: vampire_2.0.3.07
_stories_story