Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

Aryo (1): Pertemuan

by Superroyyan


PROLOG

Ah, tak sanggup aku menatap seseorang yang sedang duduk di hadapanku ini. Menundukkan kepala dan mengepalkan tanganya. Yang kudengar hanyalah berisiknya orang bercerita dan bisingnya kendaraan yang hilir mudik kesana kemari entah kapan berhentinya. Jalan itu ramai, sangat ramai begitu pula dengan warung makan ini. Tak sepertidiriku yang sunyi senyap tak ada suara dan gerakan sedikitpun. Kepalaku juga tertunduk, seperti lelaki dihadapanku. Entah sampai kapan aku betah seperti ini.

Rasa itu serba tercampur dalam diriku. Iba, bersalah, senang, takut. Tetapi semua rasa itu beralasan.

“Kalau Abang memang akan melakukan hal itu, gue gak papa, itu semua juga demi kebahagiaan Abang…”

Pemuda itu bersuara berat. Mendengar kalimat itu Aku lalu berani mengangkat kepalaku dan memandangi pemuda itu. Aku tidak langsung menanggapi perkataan pemuda tadi. Aku semakin berani menelusuri tatapan matanya yang sayu, semakin Aku menemukan pemuda ini menahan berbagai rasa di dalam dirinya.

“Tetapi Kamu ???” Jawabku lirih.

Pemuda itu lalu menarik napas panjang, lalu seperti mau mengeluarkan semua rasa dari dalam dirinya pemuda itu menghembuskan napasnya. Tetapi kali ini dia tersenggal.

“Asalkan Abang berjanji Abang akan selalu bahagia, maka Saya akan rela.”

“e e e” Aku bingung

“Saya tahu Dia orang baik, dia sangat sayang kepada Abang, Dia juga pintar. Dan seperti kata Abang, orang tua Abang juga sangat menginginkan Dia bang…”

“Terlebih, bukankah sebagai seorang anak kewajibannya adalah membahagiakan orang tuanya?” Tambahnya, kali ini nadanya tegas.

“Tetapi…” Suaraku lirih.

“Stop Bang, udah, sudah !!! Aku sudah menentukan sikapku. Terima dia Bang !!! Kalau tidak, maka aku akan marah dan tidak akan bercakap lagi dengan Abang !!! Mengerti !!!” Pemuda itu menghentikan kataku dengan nada mengancam.

“Ayo pulang !!! Sudah malam, lagian besok Aku ada kuliah pagi, Aku nggak ingin besok terlambat.” Ajaknya.

“e.. e.. e.. , Iya” Aku lagi lagi menjawab dengan nada penuh kebimbangan.

Di dalam mobil, pada perlajalan menuju rumah pemuda itu, kami juga tak saling bercakap-cakap. Bagiku sekarang, dia seperti orang asing yang baru kenal. Sangat irit bicara. Juga Aku sempatkan beberapa saat memandanginya. Dia diam, mulut tertutup rapat, dan kadang dia menutup mata sambil mengusap rambutnya kebelakang. H hh.

Sudah sampai rumahnya. Pemuda itu juga tak langsung turun dari mobilku. Tampaknya dia sedang melamun. Melihat hal itu, Aku beranikan diriku untuk memegang tangannya. Dia lalu tersadar dan menoleh ke arahku.

“Aku bakal rindu Kamu, Yo”

Dia tak juga menjawab, hanya saja serasa dari bibirnya yang bergetar dia mau memuntahkan semua perasaannya yang terpendam, yang tertahan, yang dia rasakan kepadaku. Benar, Dia tidak menanggapi Aku dan langsung turun dari mobil, lalu memasuki rumahnya. Tanpa salam, dia meninggalkanku.

Aku tak kuasa menahan Dia. “Selamat malam Aryo…” Kataku menggantung dan pelan. Lalu tancap gas mobilku menuju rumah persinggahanku.

Rupanya, hari itu adalah hari terakhir ketika Aku bisa berkomunikasi langsung dengan Aryo sebelum menikah. Selama satu bulan ini telah kucoba telepon, sms, datang ke rumahnya, sampai mencari dia di kampusnya. Namun, semua cara itu tidak berhasil. Kocoba tanya teman-temannya, tetapi mereka juga tidak terlalu mengetahui keberadaannya.

Meskipun pintar, tetapi banyak temannya yang tidak menyukai Aryo. Alasannya karena background keluarganya yang berantakan dan dia orangnya pendiam. Tetapi karena ketampanan, banyak cewek yang simpati terhadapnya. Namun, benar-benar si Aryo tidak minat terhadap cewek, dia hanya fokus belajar dan belajar demi meraih cita-citanya. Akhirnya keberadaannya segera ku ketahui. Menurut sumber dia sedang berada di luar negeri, Afrika tepatnya, untuk mengikuti acara debat internasional tetapi narasumber itu tidak tahu kapan Aryo akan pulang. Lega rasanya mendengar hal itu. Meskipun tidak kontak, paling tidak ada lembaga yang bertanggung jawab atas keselamatannya. “Hah !!!” Memang pintar anak itu. Hatiku tenang.

Hari-hariku selanjutnya, aku disibukkan dengan berbagai macam kesibukan untuk acaraku bulan depan bersama Wina. Dari memilih bentuk undangan, mencari cateringan, gedung, lamaran, mas kawin, sampai menyewa meja dan kursi untuk tamu undangan.

Ya, Aku dan Wina memang akan menikah. Perempuan ini adalah perempuan pertama dan terakhir yang akan aku nikahi. Karena bagiku pernikahan sekali saja dalam seumur hidup. Aku mencintai Wina, begitu pula dengannya. Wina merupakan wanita idola para pria waktu itu ketika kami masih duduk di bangku SMA. Sempurnanya siswi lah, ya pinter, badannya bagus, dan pandai berorasi. Aku? Dulu waktu SMA anak badung. Namun sebadungnya Aku, dalam lomba-lomba paper, debat, dan karya ilmiah tidak pernah terkalahkan dengan siswa ‘alim’ lainnya. He heh heh. Sampai suatu ketika Aku ditunjuk lagi sebagai perwakilan sekolah untuk mewakili lomba debat, aku digandengkan dengan rekanku yaitu Wina. Dari saat itulah Aku mulai menaruh benih cinta terhadapnya. Diapun juga begitu. Akhirnya 1 minggu setelah kemenangan kami jadian deh. Begitu seterusnya sampai kami lulus SMA. Karena kondisi ekonominya yang berlebih, Wina meneruskan kuliahnya di luar negeri, dan Aku? Aku tetap saja meneruskan pendidikanku di negara ini. Kami waktu itu belum putus sebenarnya, tetapi sejak itu kami loss contact. Sekian lama berpisah ternyata kami kembali bertemu dan kembali menjalin hubungan percintaan setelah menjadi pribadi yang lebih matang. Ya, waktu itu Aku sudah menjadi orang-lah. Eksekutif muda kalo aku boleh bilang. Aku dengan tidak sepenuh hati menerimanya. Alasannya, orang tuaku, yang selama ini selalu menyuruhku mendapatkan pendamping hidup sehingga mereka bisa memomong cucu. Terlebih juga dengan desakan Aryo untuk menerima Wina sebagai pacarku waktu itu.

PERTEMUAN DENGAN ARYO

Malam itu semakin larut dan Aku semakin tidak bisa meggunakan sisa-sisa energiku untuk bangun dan berdiri, apa lagi untuk jalan. Pikiranku waktu itu dipenuhi dengan pesimistis dan kekacauan. Aku benar-benar lemah saat itu. Lemah segalanya. Padahal warung itu akan segera tutup tetapi aku belum juga meninggalkan warung itu. Kulihat suasana sekelilingku. Hah, burem. Mataku tidak bisa menangkap apa yang seharusnya tertangkap oleh mataku. Semuanya kelihatan melayang, kuning ke oranye-oranye an karena lampu di warung itu. Aku tidak tahu apakah waktu itu Aku sudah berdiri atau dalam posisi apa. Namun yang jelas aku masih bisa mendengar suara Ibu-ibu yang berteriak minta tolong dan banyak suara kaca yang pecah. Tetapi tidak tahu mengapa Aku merasa perut dan wajahku sakit, seperti ada yang memukuli aku hingga banyak darah yang keluar dari hidungku. Aku lemas sekali. Dan sepertinya Aku terjatuh di lantai. Mataku waktu itu masih terbuka dan Aku bisa melihat samar-samar ada pemuda yang memperhatikan Aku dari kursi duduknya bersama kawan-kawannya. Aku berusaha memandangi Dia untuk mencari pertolongan. Ah, betapa hinanya Aku waktu itu. Tidak tahu apakah suaraku itu terdengar dengan jelas atau tidak. Aku yang seperti ini hanya bisa bergumam tidak jelas karena memang Aku sangat kacau waktu itu.

***

Kurasakan ada seseorang yang menyemprotkan pengharum ruangan. Baunya jeruk. “A..ah..” suaraku tertatih karena Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Lalu Aku mencoba membuka mataku dan melihat sekeliling. Saat itu Aku bingung. Tempat ini, Aku tidak mengenalnya…

“Hah, rupanya kamu sudah siuman” Kudengar suara laki-laki mencoba mengajak berdialog dan mendekatiku.

“Tenang saja, kamu sudah aman kok di sini..” Tambahnya sambil senyum.

Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Aku hanya diam dan bingung. Dia datang membawa baskom kecil dan sepotong handuk kecil. Aku liat dia langung mencelupkan handuk tersebut ke dalam baskom lalu memerasnya dan mengompres pelipisku. Ah, hangat, airnya hangat… Aku masih terdiam dan mengamati pemuda itu.

“Kamu kemarin mabok…”

Mabok?

“Apa?” Aku bertanya.

“Ouch,,, sakit tauk, jangan keras-keras ngompresnya !!!” Komplainku terhadapnya.

Dia hanya diam dan memanyunkan bibirnya.

“Hah, sudah selesai… sana mandi, pakaiannya udah gue siapin!!!” Katanya ketus.

Kuturuti saja apa maunya. Aku baru sadar ketika Aku mendapati diriku ini hanya memakai boxer saja setelah aku beranjak dari tempat tidur dan menyibakkan selimut.

“Hah, di mana bajuku? Kau apakan Aku?”

“Heh, jadi orang jangan kepedean dong, sana mandi duluuuu, nanti gue jelasin…” Jawabnya sambil mendorongku dari belakang menuju kamar mandi yang ada di kamar itu dan menutup pintu kamar mandi.

Aku langsung menghidupkan shower dan berada di bawahnya sehingga air yang turun begitu deras mengguyur tubuhku yang memar ini. Auch, perih. Setelah selesai mandi, aku kelauar dari kamar mandi menuju tempat tidur guna mengambil pakaian ganti lalu memakainya. Aku lihat sekelilingku tidak ada pemuda tadi. Suasananya sunyi, seperti tak ada keluarga yang tinggal di rumah ini. Hmm, bagus juga kamarnya. Pikirku waktu aku memandangi seluruh sudut kamar ini. Aku berpikir kalau pemuda ini adalah anak orang kaya. Lama tak mendengar suara aktifitas orang di rumah ini, Aku memberanikan diri untuk keluar kamar dan mencari pemuda yang tadi bertemu denganku. Wah, memang benar rumah ini sangat bagus walaupun dengan ukuran yang tidak terlalu besar tetapi nyaman dan minimalis. Di bagian belakang terdapat taman yang indah. Bunga-bunga di taman itu mulai bermekaran. Pasti Ibu pemuda itu sungguh ahli dalam tata eksterior. Aku lalu duduk di kursi malas, memandangi lukisan-lukisan alam yang terbentuk dari susunan tumbuh-tumbuhan yang ada di taman itu sambil mendengarkan gemericik air mancur yang tegak berdiri sebagai center taman. Tetapi setelah beberapa lama, Aku tidak juga menemukan seorang pun menuju taman. Entah itu pembantu, tukang kebun, anggota keluarga pemuda itu atau siapapun. Yah, akhirnya Aku mulai melamun. Melamunkan tentang masa depanku hampir suram. “hah” aku menghela napas.

Lamunanku terusik oleh suara keras memanggil-manggil julukan untuk kakak. “Bang..!!! Bang..!!! Bang…!!! kamu di mana?” “halooo…” Suara itu sepertinya Aku kenal. Oh, ternyata si pemuda yang memanggil aku. Aku lantas beranjak dari kursi lalu masuk lagi ke dalam rumah. Kudapati pemuda itu sedang berdiri membelakangiku sambil memanggil-manggil namaku.

“Aku di sini…” jawabku

Lalu pemuda itu menoleh lantas tersenyum. “Oh, Abang di sini toh,,, nih ayo kita makan !!!” Ajak pemuda itu sambil menentengkan sebuah rantang berisi makanan menuju gazebo yang ada di taman itu. Aku ikuti saja langkah pemuda itu.

“Wah, enak nih” kata pemuda itu girang menatap makanannya. “Ayo dimakan Bang..!!! Atau perlu Aku ambilin ???” Kata pemuda itu.

“Eh, nggak usah” jawabku. “Ini kamu semua yang masak? Kok enak? he3? Kalimat pertamaku setelah memakan beberapa suap.

“O, bukan, bukan Aku ini bude sebelah yang masak, setiap hari Aku makan di sana, maklum nggak ada orang di rumah. he3? Jawabnya nyengir. Melihat wajah pemuda itu aku langsung tertarik untuk senyum. Habis pemuda itu manis dan lucu sih, he3. Seperti Pikachu !!!

“Oh, jadi taman itu juga bude kamu yang membuat seperti itu?” Tanyaku lagi

“Bukan, kalau yang itu Aku yang disain sendiri. Itu peninggalan Mama sebelum dia…” Dia tak melanjutkan kata-katanya lagi. Dia juga lalu terdiam sejenak.

“Eh, sorry pertanyaanmu menyinggungmu, Aku tak bermaksud…”

“Ah, nggak papa. Taman itu sebenarnya peninggalan Mamaku sebelum beliau pergi meninggalkan dunia ini. Dari pada sia-sia mending Aku disain ulang deh. Ya jadinya begitu. he3? Dia nyengir lagi.

Mendengar hal itu, Aku lalu tersenyum. Entah mengapa melihat pemuda itu bisara sambil nyengir Aku merasa kalau dia itu sangat lucu dan menggemaskan. Hah hah hah… Setelah kami selesai makan, Aku lalu membersihkan gazebo tersebut sedangkan dia masuk ke dalam rumah untuk mencuci peralatan makan kami tadi. Aku pun lalu tiduran di gazebo tersebut. Beberapa saat kemudian Dia datang membawa setoples kripik kentang di tangan kanannya dan menuju Aku. Lalu Dia ikut duduk bersamaku di gazebo.

“Ngomong-ngomong kita belum berkenalan. Kenalkan gue Aryo” sambil menjulurkan tangannya kepadaku. “Kenalkan juga, aku Fadim, panggil saja Adim” sambil menjabat tangannya dan tersenyum.

Lalu aku bernaikan diri untuk bertanya “Mengapa Aku bisa berada di sini?”

Si Chandra diam. “Itu Aku yang membawamu ke sini. Malam itu kamu dipukuli seorang preman, kamu mabok, dan tidak mau bayar… Lagian mimik rupamu kemarin malam sangat menyedihkan hingga Aku tak tega melihatmu. Kamu terus saja memandangi Aku ketika kamu kesakitan. Ya udah Aku bawa pulang saja Kamu ke rumah, dan yang bayar juga Aku”

“Oh,,,, kalau begitu Saya minta maaf, Saya janji Saya akan mengganti kerugian yang telah Kamu alami.”

“Eh, nggak kok, nggak usah begitu… Lagian kamu kan juga lagi kesusahan” Dia menjumput dua iris kripik kentang lalu memakannya.

Deggg… Kok dia bisa tahu kalau Aku sedang susah.

“Kemarin malam, ketika Kamu hendak Aku kompres, Kamu ngelindur. Sampai-sampai Aku nggak bisa tidur, badanmu panas sih…”

Aku perhatiin dia. Aku hanya bisa bilang “O, sorry, maafkan aku… Ini semua pasti mengganggumu, harusnya Aku nggak seperti ini.” Aku langsung tertunduk lesu…

“Oh, nggak papa seharusnya Aku yang sorry, cause Aku sudah dengar rahasiamu yang bukan hak ku untuk mengetahuinya.” Jawabya

“Iya, ini memang tahun ke-empat, seharusnya tahun ini aku bisa lulus. Tetapi apa boleh buat, Aku ditipu habis-habisan. Uang yang seharusnya buat bayar ludes dibawa kabur orang lain. Ini juga salahku, ngapain Aku juga ikut-ikutan…”

Aku dan Dia lalu terdiam dan menghabiskan kripik kentang yang dibawa Aryo.

Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB rencananya Aku mau pamit pulang ke kost. Tetapi pemuda itu memaksaku agar Aku setuju dia mengantarku pulang naik Swift-nya. Ya, Aku oke-oke saja. Aku meninggalkan pakaianku di rumah Aryo karena penuh bekas darah, dan saat ini aku masih mengenakan pakaian Aryo yang sedikit lebih sempit dari ukuranku. Hah, sudah sampai kost. Lalu Aku turun. Si Aryo hanya membuka kaca mobilnya saja dan melihat-lihat dari dalam mobilnya. Dia melempar senyum ke arahku.

Aku melambaikan tanganku juga dengan senyuman. Dia lalu ngacir meninggalkan Aku.

***

Sesampainya di kost, Aku langsung saja ngacir ke kamarku, tiduran.

Blarrr, Aku kaget sekali ketika membuka tas gendongku. Aku menemukan sejumlah uang yang dibungkus amplop dan dibarengi sepucuk surat. Aku yakin uang ini dari Aryo. Maka dari itu, besok harinya setelah selesai kuliah, Aku sempatkan mampir ke rumahnya Aryo.

***

“Maaf Yo, Aku nggak bisa nerima semua ini…” Sambil menyodorkan amplop berisi uang dari Aryo.

“Mengapa??? Bukankah itu yang sedang Kamu butuhkan saat ini??? Apakah kamu ingin orangtuamu tahu kalau kamu tidak bisa lulus tahun ini???”

Degg, jantungku berdebar-debar…

“Tetapi… Aku tetep nggak bisa Yo..”

Dia diam…

“Kalau kamu memang tidak berkenan, anggap ini adalah pinjaman dariku, dan kamu wajib mengembakikannya kepadaku. Mengerti? Aku nggak ingin melihat orang pintar seperti dirimu gagal hanya karena masalah biaya”

“Hanya kurang sedikit aja Dim…” lanjutnya

Aku masih saja terdiam dan berfikir

“mmm, Oke, Aku pasti akan mengembalikan uang ini Yo…” Kataku serius

Si Aryo hanya tersenyum.

Setelah meneguk segelas air teh, Aku berpamitan pulang. Kali ini Aku menolak diantarnya.

Bersambung ke bagian 2.

###

1 Gay Erotic Stories from Superroyyan

Aryo (1): Pertemuan

PROLOGAh, tak sanggup aku menatap seseorang yang sedang duduk di hadapanku ini. Menundukkan kepala dan mengepalkan tanganya. Yang kudengar hanyalah berisiknya orang bercerita dan bisingnya kendaraan yang hilir mudik kesana kemari entah kapan berhentinya. Jalan itu ramai, sangat ramai begitu pula dengan warung makan ini. Tak sepertidiriku yang sunyi senyap tak ada suara dan gerakan

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story