Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

1001 Kisah : Si Juragan Kos (2)

by Tri Sugihantoro


Selama dua minggu ini Andri sudah tiga kali tidur di kamarku. Selama itu selalu berulang kejadian pertama tersebut. Namun, tidak lagi diawali dengan taruhan. Andri sudah mengerti keadaanku. Setiap dia ingin menuntaskan nafsunya, tinggal datang ke kamarku. Masih sebatas oral dan berjalan satu arah. Aku yang mengoral kontolnya yang besar itu.

Jakarta, 18 Desember 2006

Kamar tengah akhirnya terisi. Lagi-lagi sepasang suami isteri. Uda Nasril yang berusia 36 tahun dan Uni Devita yang masih berusia 26 tahun. Mereka belum memiliki anak. Sepertinya memang belum lama menikah.

Jakarta, 22 Desember 2006

Tok… tok… tok…

“Nonton apa, Mas Toro?” Kulihat Uda Nasril sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Seperti biasa dia bertelanjang dada memamerkan beberapa tato di badannya yang tidak begitu kekar.

“Ini… lagi ngecek koleksi VCD dan DVD saya. Masih bagus apa nggak, ya? Jarang disetel, sih!” jawabku dengan suara agak bergetar. Jujur saja setiap berhadapan dengan Uda Nasril aku agak grogi. Entah mengapa, setiap orang Padang yang aku jumpai selalu memiliki sex appeal yang tinggi.

“Bokep?” tanyanya menuduh.

“Bukan!” jawabku buru-buru. Malu juga kalau ketahuan sebagai kolektor bokep. Untungnya film yang sedang kuputar adalah Mengejar Matahari.

“Nggak punya bokep?” Tanya Uda Nasril santai sambil mengambil salah satu kantung VCD-ku. Ooopps…. Jangan!

“Wuuuiiiihhhh!... Banyak juga koleksi bokepnya, Mas?!” Terlambat! Kantung yang dipegang Uda Nasril memang aku khususkan untuk film-film biru. Ada yang semi, hetero, dan kebanyakan gay…

“Se… Sebagian pu… punya teman sa… saya, Da!” jawabku terbata-bata. Malu sekali. Sudah ketahuan sebagai kolektor bokep, eh… bokep gay lagi!

“Bandung Lautan Asmara, Mahasiswa Trisakti, Kamasutra, Gladiator, …” Uda Nasril membaca satu per satu judul koleksiku. Masih aman karena VCD dan DVD gay kuletakkan di tumpukkan belakang…

“Sudah pernah nonton itu semua, Da?” tanyaku mengalihkan perhatiannya dari kepingan-kepingan di tangannya. Aku berharap dia tidak meneruskan melihat semua koleksiku sampai bagian belakang. Namun, pertanyaanku tidak dijawabnya.

“Big Cock, Supergay, 12 Inch, Asian Hole, Black Banana…” Uda Nasril berhenti membaca judul-judul film di hadapannya. Ia menoleh ke arahku dengan dahi berkernyit. Aku hanya menunduk. Malu dan takut.

“Daaa…!” suara Uni Devita terdengar dari kamarnya.

“Iyoo…” Uda Nasril menjawab. Ia letakkan kantung tersebut. Tanpa berbicara apa pun ia tinggalkan aku yang seperti maling tertangkap basah.

Jakarta, 31 Desember 2006

Malam tahun baru. Seperti biasa, di saat manusia lain bersuka cita menyambutnya aku hanya teronggok di kamar. Pak Yayat sedang dinas luar. Bu Neneng, Uni Devita, dan Uda Nasril mungkin sudah bergabung dengan warga di RT-ku yang akan membakar ayam di lapangan. Andri mungkin sudah berkeliaran dengan teman-temannya.

Inginnya aku tidur saja. Acara televisi sudah membuat jenuh. Awal tahun 2007 masih satu setengah jam lagi.

“Om Toro!” terdengar suara Andri di depan pintu kamarku.

“Kamu nggak ikutan bakar ayam, Ndri?” tanyaku saat membukakan pintu.

“Om Toro sendiri nggak ikut?” ia balik bertanya.

“Malas, Ndri! Paling-paling jadi bahan becandaan doang…” keluhku. Ya, kalau berkumpul dengan warga lain aku selalu jadi bahan gurauan mereka. Laki-laki usia tiga puluh belum menikah padahal sudah mapan. Pasti dijodoh-jodohkan. Mereka tidak tahu perasaanku!

“Ya, udah! Andri temenin mau?” tawarnya padaku. Andri sekarang sudah memposisikan diri sebagai penghiburku. Meskipun aku tahu, ia juga memanfaatkanku.

“Kamu nggak gabung sama teman-teman kamu?” tanyaku kembali.

“Aku mau temenin Om Toro. Boleh, khan?” Andri merebahkan tubuhnya dengan tangan terlipat di belakang kepala. Refleks kuperhatikan tonjolan di selangkangannya.

“Kamu ngaceng, Ndri?” pancingku. Andri tersenyum. Ia langsung mengelus-elus selangkangannya. Menggoda.

Tanpa ragu segera kuraih pengait celananya. Kubuka sekaligus dengan CD-nya. Menyembullah batangan kekar yang sudah beberapa kali kumuluti. Kutusuk-tusukkan ujung lidahku di kedua bijinya. Ia menggelinjang kegelian. Sesekali kusapukan lidahku ke bibir anusnya. Ia langsung melonjak. Begitu seterusnya sampai ia tak sabar lagi.

“Langsung, Om! Dah nggak tahan, nih!” tangannya meraih kepalaku. Tangan lainnya mengarahkan kemaluannya ke mulutku. Dia benar-benar sudah tak tahan.

Tok… Tok… Tok…

“Siapa?” aku bertanya terkejut. Tak ada jawaban. Segera kumasukkan kontol Andri dan kurapikan celananya. Andri juga terlihat panik. Ia bersembunyi di balik pintu. Aku segera membukakan pintu. Uda Nasril!

“Koq ngedekem aja di kamar? Gabung di lapangan, yuk!” Uda Nasril tersenyum. Mudah-mudahan dia tidak tahu kalau aku bersama Andri di kamar.

“Saya ngantuk banget, Da!” dustaku.

“Mas Toro sendirian aja?” Degh! Jangan-jangan Uda Nasril tahu.

“Ee… i…iya…” Brengsek! Jelas sekali kalau aku gugup.

“Ini seperti sandal Andri!” Mati aku!

Uda Nasril mendorong pintu yang hanya kubuka separo. Aku tak tahu harus bagaimana. Uda Nasril langsung masuk. Saat hendak duduk di karpet ia berbalik dan…

“Andri?!”

Andri tertunduk. Aku juga merasakan wajahku tak teraliri darah. Gemetar.

“Kamu ngapain di sini?” Tanya Uda Nasril. Kami hanya diam.

“Mas Toro apakan Si Andri?” kali ini pandangan Uda Nasril tertuju ke arahku.

“Sss… sa… ya ti… dak… apa-apakan…” jawabku ketakutan.

“Jangan bohong!” bentaknya. Hatiku semakin berkerut.

“Kamu diapain sama homo ini, Ndri?” kali ini Uda Nasril bertanya pada Andri.

“Nggak diapa-apain, Da! Aku memang mau begadang di kamar Om Toro…” Ah, Andri pun terlihat jelas tergeragap.

“Sudah! Nggak usah bohong! Kontol kamu diisep dia, khan?” jari Uda Nasril tepat berada di hidungku. Andri mengangguk. Mampuslah aku!

“Sekarang kamu keluar! Kalau tidak, saya laporkan ke orang tua kamu nanti!” ancam Uda Nasril seraya mengusir Andri. Andri pun keluar.

“Da! Tolong hal ini dirahasiakan, ya…”pintaku pada Uda Nasril.

“Mas Toro mau kasih apa ke saya sebagai penutup mulut?” ucapannya terdengar menghina.

“Saya nggak tahu. Terserah Uda Nasril…” ujarku pasrah.

“Oke! Terserah saya, ya!?” wajahnya mendekati wajahku, “Jadikan saya sebagai pengganti Andri!” Gila! Ternyata Uda Nasril mau juga!

“Khan sudah ada Uni Devita, Da?!” ingatku.

“Belakangan ini dia sering kecapekan!” Uda Nasril lekas membuka seluruh pakaiannya. Kulihat kontolnya tak sebesar Andri meskipun lebih besar dari kontolku. Ia pun duduk sembari mengangkangkan selangkangannya.

Tit… tit… tit…

Ada SMS. Segera kuraih HP-ku. Dari andri?

OM, AQ MO GRBEK KMR OM BRG TMN2. GA SAH TKT. QTA MO NGRJAIN DA NASRIL.

Segera kuhapus pesan tersebut.

“Dari siapa?” Tanya Uda Nasril.

“Teman ngucapin selamat tahun baru” dustaku lancar.

“Buruan, yo! Nanti yang lain keburu pulang!” Tangan Uda Nasril sudah menarik kepalaku ke selangkangannya. Aku menarik kembali kepalaku.

“Saya cek dulu di luar, Da! Jangan-jangan ada orang…” Aku melongokkan kepala ke luar kamar. Pintu kututup kembali sambil pura-pura menguncinya. Ya, pura-pura!

“Bagaimana rasa kontol saya?” Tanya Uda Nasril padaku. Aku masih memaju-mundurkan bibirku.

“Kontol Uda nggak setegang Andri, ya? Kalau Andri ngacengnya kayak besi. Gede lagi!” sengaja kulontarkan perasaanku yang sebenarnya.

“Tapi Mas Toro doyan, khan?” ejeknya sambil menekan lebih keras kepalaku. Aku hampir tersedak hingga …

BRAKKK!

Daun pintu kamarku terbanting. Andri dan empat orang temannya merangsek masuk.

“Mau apa kalian?!” Uda Nasril membentak. Mereka justru memeganginya. “Heh! Apa-apaan ini?” Ia berusaha berontak. Namun, tenaga lima orang remaja badung tersebut melebihi kekuatannya. Satu orang berhasil memegangi tangan dan kaki kanannya. Adapun seorang lagi memegangi dari sebelah kiri. Satu orang memiting lehernya. Andri membuka celana dan mengeluarkan kontolnya yang besar sambil meremas-remasnya hingga tegang.

“Ndri! Kamu mau ngapain? Jangan, Ndri!” aroma ketakutan tercium dari suara serak Uda Nasril. Gila! Aku tidak menyangka Andri merencanakan balas dendamnya seperti ini.

“Uda Nasril diam saja! Nikmatin kontol saya yang gede ini! Uni Devita masih perawan, khan? Soalnya Kontol Uda Nasril nggak bisa tegang. Sekarang biar bisa tegang, saya setrum dulu pakai kontol saya. Biar ngacengnya sekeras kontol saya! Rekam, Din!” Andri mulai mengarahkan kontolnya yang sudah mengeras ke dubur Uda Nasril. Udin yang semula hanya menonton kini mengarahkan HP berkameranya ke selangkangan Uda Nasril.

“Din, jangan direkam! Tolong, Din! Jangan!!!” suara Uda Nasril terdengar mengiba. Namun, remaja-remaja itu sepertinya sudah punya skenario sendiri. Ratapan Uda Nasril tak mereka hiraukan.

“Fyuh! Sempit juga bool Uda Nasril, nih?!” Andri terus menghujamkan kontolnya. Baru bagian kepala kontolnya yang seperti jamur yang tenggelam.

“Sakit, Ndri! Sakit! Sakiiittttt!!!” Uda Nasril mulai menjerit. Udin terus merekam proses pemerkosaan Andri terhadap Uda Nasril. Aku hanya menyudut dengan campuran perasaan kasihan, nafsu, penasaran, terangsang, dan sebagainya.

“Ssst! Jangan berisik! Mau Uni Devita tahu kalau bool Uda Nasril saya entot? Hah!?” ancaman Andri membungkam mulut Uda Nasril. Namun, erangan-erangan tertahan masih terdengar samar. Yah, kontol Andri sangat besar. Apalagi buat anus Uda Nasril yang mungkin memang bukan homo.

“Arrrgghhh…. Ndri, sakit! Ssssakkiitttt…. Arrrgh!!!” erangan Uda Nasril terdengar mengencang. Andri justru mempercepat genjotan kontolnya di dubur pria bertato itu. Ditambah lagi temannya yang semula memiting leher Uda Nasril justru menjejalkan kontolnya yang hitam ke mulut Uda Nasril. Udin mengclose-up adegan tersebut. Aku merasakan kontolku ikut tegang. Seandainya aku yang terbaring di situ dan bukan Uda Nasril…

DAR! DOR!

Jakarta, 1 Januari 2007

Suara petasan dan kembang api terdengar bersahutan di luar. Suaranya yang bising beriringan dengan jeritan Uda Nasril yang diperkosa Andri dan temannya dengan kecepatan luar biasa. Aku yakin Andri melakukannya bukan karena terangsang terhadap Uda Nasril. Namun, dendam. Ya, ia tersinggung diusir dari kamarku. Padahal saat itu ia sedang sangat ingin menyalurkan libidonya.

“Oooouuuccchhh….” Andri mengerang nikmat. Ia sudah muncrat. Kontolnya tetap terhujam di anus Uda Nasril. Uda Nasril sendiri terlihat kepayahan. Ada cairan darah mengalir dari dubur perawannya. Ia pasti hancur. Tak lama kemudian teman Andri mencabut kontolnya dari mulut Uda Nasril yang tak mampu menampung lelehan pejuh remaja berkulit hitam itu.

“Sekarang pergi!” seorang teman Andri menariknya berdiri untuk kemudian menendangnya ke arah pintu. Uda Nasril terhuyung. Dengan langkah mengangkang perih tanpa pakaian ia keluar. Udin mengikutinya dengan tetap mengarahkan HP-nya ke aurat Uda Nasril. Andri dan teman-temannya yang lain tertawa puas. Aku hanya bisa menghela nafas.

Tak lama terdengar Uda Nasril muntah-muntah. Kami sendiri di kamar tertawa-tawa menyaksikan hasil rekaman Udin. Kali ini aku benar-benar terangsang!

(bersambung)

###

9 Gay Erotic Stories from Tri Sugihantoro

1001 Kisah : Dosa-Dosaku

Ramadhan ini aku coba mengingat-ingat sudah berapa kontol yang aku dapatkan dalam hidupku. Ternyata sudah sangat banyak! Itu pun kemungkinan besar masih banyak yang kelupaan. Berikut aku coba sebutkan berdasarkan urutan kejadian:1. Seorang tukang rokok keliling. Siang itu sedang tidur di teras sebuah muholla kecil di kampusku di Rawamangun. Keadaan yang sepi memancing birahiku untuk

1001 Kisah : Si Juragan Kos (2)

Selama dua minggu ini Andri sudah tiga kali tidur di kamarku. Selama itu selalu berulang kejadian pertama tersebut. Namun, tidak lagi diawali dengan taruhan. Andri sudah mengerti keadaanku. Setiap dia ingin menuntaskan nafsunya, tinggal datang ke kamarku. Masih sebatas oral dan berjalan satu arah. Aku yang mengoral kontolnya yang besar itu. Jakarta, 18 Desember 2006 Kamar tengah akhirnya

1001 Kisah Gay: (1) Ketua Kelasku, Aries

Masuk sekolah baru. Aku yang sangat pemalu tentu saja sangat tersiksa. Selain orientasi seksualku yang sangat menyimpang, aku juga terlahir dari keluarga yang sangat miskin. Malu bergaul dengan teman-teman yang

1001 Kisah: Di Pos Satpam

“Siapa kamu!?” Pertanyaan Pak Satpam tersebut sangat mengejutkanku. Aku rasa lebih tepat jika disebut dengan hardikan. Kalau bertanya kok nadanya sadis amat? “Ssss…” tentu saja aku sangat gugup untuk menjawab pertanyaan (hardikan) tersebut. “Siapa!!” kali ini benar-benar berupa hardikan. “Tri, Pak…” dengan susah payah kukumpulkan keberanianku untuk menjawabnya. “Mau apa di sini!?”

1001 Kisah: Manfaat Kerja Bakti

Minggu pagi. Minggu yang cerah. Sebagian besar kaun bapak di RT-ku bergotong royong membersihkan lingkungan yang rutin dilaksanakan sebulan sekali. Rutinitas bulanan yang sangat aku sukai. Selain berolahraga aku juga bisa memanfaatkannya untuk memanjakan selera homoku. Bagaimana tidak? Para bapak itu umumnya hanya mengenakan celana pendek yang bias menunjukkan kekekaran paha dan betis mereka. Dan

1001 Kisah: Selamat Datang Paman Arjo dan Aris! (10)

Bang Samsul keranjingan membobol duburku. Nyaris setiap hari setelah Mbak Laras pergi, ia mengentotiku. Satu hari ia minta aku mengemut kontolnya seharian. Aku memenuhi keinginannya dengan senang juga akhirnya. Aku tinggalkan kontol yang terus ngaceng itu jika ada pembeli. Di hari lain ia akan menggenjot anusku sampai ia muncrat dua atau tiga kali. Padahal aku sudah kepayahan melayani nafsunya.

1001 Kisah: Selamat Datang Paman Arjo dan Aris! (8)

Pagi hari setelah peristiwa terbaik sepanjang hidupku ... Ada keributan di depan sekolahku. Fizkar dikeroyok Doni dan belasan temannya. Dia berdarah-darah. Namun, tiga orang dari belasan lawannya sudah terkapar kesakitan. Aku tak berani mendekat. Seharusnya aku membantu Fizkar menghadapi Doni dan teman-temannya. Namun, aku tidak pernah berkelahi. Kalaupun pernah bertengkar pasti berakhir

1001 Kisah: Selamat Datang Paman Arjo dan Aris! (9)

Aris tidak bermain-main dengan janjinya. Ia gantikan Fizkar dalam hidupku. Kamar tidur kami sudah berulang kali menjadi saksi kehangatan cinta kasih sepasang remaja lelaki. Selama dua tahun semuanya berlangsung. Fizkar tetap tidak ada berita. Kami lulus dengan nilai cukup baik. Aris mengikuti pesan bapaknya untuk langsung bekerja. Bukan hal yang sulit baginya yang memiliki banyak kelebihan.

1001 kisah: Si Juragan Kos (1)

Jakarta, 19 November 2006 Adalah sebuah anugerah yang tak ternilai yang kudapatkan di usiaku yang ke-30 ini. Rumah yang selama ini kukontrak sebesar enam juta rupiah per tahunnya kini telah menjadi milikku. Berawal dari jumlah hutang pemilik kontrakan yang terus bertambah padaku, keinginan naik haji, hingga kebutuhan-kebutuhan lainnya, membuat pemilik kontrakkan terpaksa menjualnya padaku

###

Web-01: vampire_2.0.3.07
_stories_story