Gay Erotic Stories

MenOnTheNet.com

My Sexy Taxi Driver

by Stiletto


There's always something new in town. New clubs, new bags, and new men. Malam itu, aku baru saja melangkahkan kaki keluar menuju pintu utama dari Plaza Senayan. Usai menginap di rumah teman, aku memutuskan untuk mampir sebentar ke pusat perbelanjaan yang terletak di selatan Jakarta itu sebelum pulang ke rumah. Tak lama menunggu, sebuah taksi menghampiri dan aku langsung saja membuka pintu dan duduk manis di jok belakang. Tak disangka, supir taksi berwarna biru itu bersikap sangat ramah. Kelewat ramah, malah. Ia memutar kepalanya dan tubuhnya ke belakang cuma buat bilang selamat malam kepadaku. Tak pelak, aku agak tertegun sejenak. Ada apa ya? Tapi ya sudahlah, aku menyapanya kembali dan mengatakan tujuanku. Kemudian, aku kembali terdiam dan menatap ke luar jendela, sementara mobil mulai melaju. Namun, aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion dalam dari depan. “Habis belanja ya, mas?” Katanya mengagetkanku. “Ah, eh, nggak juga,” “Wah, hebat ya mas, tanggal tua masih bisa belanja,” ujarnya lagi. “Ah, nggak juga kali mas, cuma nemenin teman dan beli roti aja kok,” kataku sembari mengangkat kantong plastik dari Bread Talk. “Kopinya enak, mas?” tanya supir itu. “Hm, lumayan,” Saat itu aku memang sedang menikmati segelas espresso dari Spice Garden. Sisa makan tadi. Duh, ada apa ya? Kenapa sih dia menanyakan sejuta hal tidak penting ini? Sepertinya ini sudah lewat dari batas ramah. Dan, seperti dugaanku, ia terus saja mengajakku mengobrol. Topiknya masih juga seputar hal-hal tak penting lainnya. Aku pun juga sibuk bertanya-tanya akhirnya. Termasuk soal pekerjaannya sebelum jadi supir taksi. Ternyata dulu ia sempat buka usaha percetakan, dan kuliahnya di salah satu universitas swasta di Depok jadi terbengkalai akibat kesibukannya itu. “Wah, saya akui, saya dulu bandel mas!” ujarnya. “Oh, terus habis itu, mas?” Aku menimpalinya. “Saya sempat jadi kameramen dan tinggal di Bali,” “Wah, seru dong ya! Terus, kenapa balik ke Jakarta, mas?” “Yah, namanya juga kerjaan project mas, jadi nggak serba pasti,” “Oh,” “Kalau mas kerjanya apa?” “Aku penulis di salah satu majalah,” “Oh, pantesan ya modis banget,” “Wah, makasih,” Padahal, kala itu aku hanya mengenakan kaus warna biru muda yang terlihat biasa saja, jeans, dan sandal. Memang sih, aku menambahkan shawl panjang berwarna orange yang kugantungkan di leher dan gelang-gelang. Semuanya berwarna orange. Oh, tak lupa birkin bag berwarna serupa. “Namanya siapa, mas?” “Rio,” “Kalau mas?” “Ferdyavan,” Sembari ia menyalakan lampu mobil agar aku bisa melihat ID-nya yang ada di dasbor mobil dengan jelas. Plus, sekalian aku menatap wajahnya. Apalagi, ia juga menengok ke belakang kembali. Saat itu kita sedang terhenti akibat lampu merah di bilangan Pondok Indah. Ternyata, wajahnya lucu juga, hidungnya mancung, dan senyumnya manis. Bibirnya terlihat tipis dan ia memiliki tulang rahang yang terbilang tinggi. Well, tipikal boy-next-door. “Anak pertama ya, mas?” Tanyaku. Ikut-ikutan bertanya yang tak penting. “Iya, kalau mas?” “Saya juga,” “Sudah punya pacar, mas?” Iseng saja aku bertanya. Aku taksir usia masih muda sekitar 25 tahun atau 26 tahun, pastinya ia sudah ada yang punya. Sedangkan aku sendiri baru 23 tahun. “ Belum mas, mana ada yang mau?” “Loh, kenapa mas? Pastilah ada yang mau,” balasku. “Kalau mas sendiri gimana?” “Aku juga nggak punya pacar,” “Ah, yang benar?” Tanyanya heran. “Iya,” “Kenapa?” “Well, mungkin belum ketemu yang tepat dan belum mau mungkin ya,” “Susah juga ya mas ga punya pacar, padahal saya kan sering 'tegangan tinggi',” Wah, sepertinya nantangin nih... “Yah, terus gimana dong, mas” aku bertanya. “Ya sudah, 'maen' aja gitu mas, di Bali kan banyak,” “Oh,” “Boleh tanya sesuatu, mas?” “Boleh, tanya aja,” “Mas, kalau main sama cewek apa sama cowok,” Oke, ini pasti pertanyaan yang sudah diincarnya dari tadi. “Menurut mas yang mana?” Aku sudah biasa menghadapi pertanyaan seperti ini. I'm proud to be gay. For God sake, everybody knows I'm gay. Even if u still wondering, my appearance will convince you. Dia terdiam. “Cowok, mas,” “Oh, saya juga suka 'maen' sama cowok kadang-kadang,” “Oh, ya?” Jadi dia biseks? Atau gay yang masih dalam proses? “Kalau mas mau 'maen', sama siapa dong mas? Kan mas nggak punya pacar,” “Yah, adalah mas kalau buat yang itu sih,” kataku. “Wah, ngomongin beginian jadi bikin horny nih, mas,” ujarnya sembari melirikku dari spion dalam lagi. Malah, sepertinya ia menyentuh pelan tonjolan kontolnya. OK, this is it! Dan, aku nggak bakal menyia-nyiakan kesempatan ini. Perjalanan pulang masih panjang dan cara lain apa yang lebih baik mengisi waktu dibanding yang ini? “Mau saya bantuin, mas?” “Boleh mas, kenapa nggak?” Ia kelihatan bersemangat dan langsung mengatur posisi duduknya. Aku melompat dari jok belakang ke jok depan di sampingnya. Nafasnya terdengar memburu dan ia tersenyum lebar. Wah, makin lucu saja wajahnya! Saya pun tersenyum dan langsung meletakkan sebelah tangan di atas pahanya dan mulai mengelus-elusnya. Tanpa buang waktu, ia pun berbuat hal yang sama. “Duh, saya memang sudah mengincar mas dari tadi,” katanya agak parau. Terbakar nafsu mungkin? “Panggil Rio aja kali sekarang,” “Gue suka sama cowok kayak elo yang tinggi, langsing, dan feminin lagi,” tambahnya dengan bahasa yang terkesan lebih akrab. Dengan tinggi 179 cm dan berat 55 kg, tubuhku memang terlihat tinggi dan kurus. Terlebih lagi, kedua kakiku terbilang jenjang. Sehingga, tubuhku terlihat lebih pendek dibandingkan dengan kakiku. Pendeknya, mirip dengan tubuh para model wanita. “You do?” Tambahku acuh tak acuh. Tanganku pun meraba pahanya lebih dalam lagi ke arah selangkangannya. Tubuh Ferdy semakin menggelinjang pelan sambil mengangkat sedikit pahanya, hingga tanganku meluncur makin cepat ke arah kontolnya. Sementara ia sudah tak sabar lagi dan tangannya sudah berada tepat di tonjolan kontolku. Aku memejamkan mata merasakan sensansinya. Jemarinya menelusuri bentuk kontolku. Pelan-pelan. “Hm, sepertinya besar nih!” ujar Ferdy bersemangat. “Ahhh, coba aja nanti lihat sendiri,” aku mendesah. “Buka dong, aku sudah nggak sabar lagi nih,” “Kamu dulu,” Aku masih memegang-megang tonjolannya yang semakin mengeras di balik celana bahannya itu. Rasanya benda nikmat itu ingin segera melompat keluar. Sementara itu, aku masih saja melakukan manuver jemariku pada kontolnya Ferdy yang masih terbungkus rapi itu. Aku menelusuri bentuknya, mencubitnya perlahan, dan menggelitik 'kepalanya' saat aku berhasil menemukannya. Puncaknya, aku membungkuk untuk mencium, menggigit kecil, dan menjilati kontolnya. Tentu saja Ferdy semakin tak karuan. Tak lama kemudian, Ferdy tak kuasa lagi menahannya dan berusaha untuk membuka celananya. Kulihat dia sedikit kesulitan dengan sabuknya, apalagi satu tangannya harus memegang setir. Tentunya, aku langsung membantunya dengan sigap. Aku segera melepaskan kaitan sabuknya, membuka ritseletingnya, dan memelorotkan sedikit celananya. Ferdy kelihatan senang. Aku kembali mengelus-elus kontolnya yang berada di balik briefs putihnya. Aku menggenggamnya dan mengocoknya perlahan. Pelan-pelan, aku pun menarik briefs-nya ke bawah, dan melompatlah kontolnya hingga membentur perutnya. Seperti perkiraanku, kontolnya sudah dalam keadaan ngaceng sepenuhnya. Panjangnya mungkin sekitar 13 cm atau 14 cm. Tak terlalu besar memang, tapi itu tak masalah. Bentuknya cukup bagus dengan 'kepala' yang berkilat dan agak basah. Mungkin akibat pre-cum-nya yang keburu keluar tadi. Bulunya pun cukup lebat dan menggoda. Langsung saja aku menjilat bulu-bulu itu sembari menciuminya. Aroma jantan segera memenuhi rongga hidungku. Bulu-bulu itu terkadang menggelitik hidungku. Kemudian, aku mengecup kontol Ferdy yang sudah berdiri tegak menantang sedari tadi. Tak pelak, Ferdy jadi agak kehilangan kendali dan tersenyum panik. Sementara, aku tersenyum melihat tingkahnya. “Wah, mas! Bisa susah kalau begini,” Tangannya lalu menggapai ritseleting celana jeans-ku dan menariknya turun. Pelan-pelan, ia mulai meraba-raba kontolku yang sudah mulai ngaceng penuh juga. Aku bangkit dan kembali menghadap jalan. Jemari Ferdy mulai menyusup ke balik briefs low-rise-ku dan menyentuh 'kepala' kontolku. Aku pun mulai mendesah. Ia pun makin semangat dan mulai memasukkan seluruh tangannya dan mulai membuat gearkan mengocok. Aku berinisiatif untuk menarik ke bawah celana jeans-ku dan membuka briefs. Tangannya pun makin leluasa menggenggam kontolku dan aku pun berbuat hal yang sama. “Wah, punya kamu besar juga ya,” ujar Ferdy. Aku hanya tersenyum. Punyaku berukuran sekitar 17 cm dan bulunya pun lumayan. Aku dan dia saling memainkan kontolku. Aku telusuri kontolnya nya dengan satu jari. Mulai dari 'kepalanya', frenulumnya (bagian 'leher'), hingga batangnya. Kita saling mengocok, hingga kulihat muka Ferdy jadi merah padam. Jemarinya semakin erat menggenggam kontolku dan menggerakannya maju mundur. Aku juga tak mau kalah. Kuselipkan tanganku ke balik kemeja seragamnya yang dilapisi kaus dan mulai memainkan nipple-nya. Jemariku mulai beraksi di sekitar nipple-nya, mulai dari mengelus, merasakan teksturnya, dan mencubit kecil. Kemudian mulai mengelus perlahan dadanya, sambil memainkan nipple kiri dan kanannya secara bergantian. “Wah, gila! Bisa nabrak kalau begini ceritanya,” ujarnya. Aku pun hanya tertawa dan kembali membenamkan kepala dan mulai memberikan servis oral pada kontolnya. Ferdy pun kaget. Kusedot kuat-kuat sambil berusaha memasukkan seluruhnya ke dalam mulut. Lidahku pun tak diam begitu saja. Kumainkan juga lidahku untuk menggelitik 'kepala' kontolnya. Aku mulai menggerakan kepalaku maju-mundur. Sambil sesekali menjilatinya dan mengocoknya. “Ougghhhh..Ahhhhh..” Ferdy mendesah-desah. Aku terus saja asyik dengan aksi mengulum, menghisap, dan menjilatku itu. Well, lidahku sepertinya punya keahlian khusus untuk hal yang satu ini. “Mmmm..Ahhhh, baby!” Erang Ferdy lagi. Aku menjilati lubang kencingnya dan mengitari frenunulumnya dengan lidahku. Ditambahi dengan mengecup-ngecupnya. “Wah, yang sepi jalan mana nih?” Tanya Ferdy tiba-tiba dengan suara ekstra parau. Di depan memang ada dua jalan bercabang yang bisa mengarah ke rumahku. Tentu saja ku memberi tahu yang paling sepi. Dia pun memacu mobil dengan kecepatan siput. Berharap agar aku tak cepat sampai. Tak alma kemudian, mobil itu pun berhenti dan Ferdy mengangkat kepalaku. Kini giliran dia yang mulai menghisap kontolku. “Ini yang gue tunggu dari tadi!” Katannya kemudian. Aku merasakan hisapan kuatnya dan hangat lidahnya di sekitar batang dan 'kepala' kontolku. Tanganku masih mengocok kontolnya yang sekarang menganggur. Tiap kali hisapannya bertambah kuat atau cepat, aku pun makin bersemangat untuk mengocok kontolnya. Tak lama kemudian, ia berhenti untuk mengambil nafas. Tentunya aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mendorong tubuhnya, menarik pakaiannya ke atas, dan mulai memainkan nipple-nya dengan lidahku. Aku menjilatinya, menyentuhnya dengan ujung lidah, menyedotnya kuat-kuat, dan menggigit-gigit kecil. Tanganku? Pastinya masih terus memanjakan kontol Ferdy. “Mmmmmm, yeah..!” Aku rasa dia bakal orgasme sebentar lagi dan aku berhenti memainkan kontolnya. Kontol Ferdy sudah semakin ungu, dan keras sekali. Dia pun mulai kembali memberikan servis oral kepada kontolku yang memang sudah menunggu mulutnya. Dia mulai kembali menghisapnya kuat-kuat, menjilati seluruh bagiannya inci demi inci, dan mengambil waktu lama untuk menghisap kuat-kuat kepala kontolku. Tangannya sibuk memainkan nipple-ku. Aku kembali membenamkan kepalaku ke arah selangkangannya dan sibuk menghisap, menjilat, dan membenamkan kontolnya dalam-dalam ke mulutku. Ia hanya bisa terengah-engah. “Ahhhh..ahhhh..ahhhhhhh!!” Aku rasa sebentar lagi dia akan orgasme. Makanya, aku segera mengeluarkannya dari mulutku dan mengocok kontol itu dengan kecepatan penuh. “Aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh!!!” Betul saja, sedetik kemudian kontolnya memuncratkan cairan putih ke arah kemejanya. Jumlahnya cukup banyak dan seolah tak berhenti-berhenti. Tak repot untuk mengelapnya terlebih dulu, ia kembali sibuk dengan kontolku yang masih ngaceng. Dijilatinya dan dikocoknya dengan kecepatan penuh. Aku pun memuncratkan cairan yang sama dengan jumlah yang tak kalah banyaknya. Akhirnya aku memberikan tissue padanya dan membantunya membersihkan bajunya. Kemudian tentu saja aku juga membersihkan dirku sendiri. Kami pun mulai merapikan baju masing-masing dan berciuman. Mobil pun mulai berjalan lagi, tapi tanganku masih berada tepat di kontolnya. Begitu pula dengan tangannya. Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di depan rumahku. Tapi aku masih belum mau berpisah dengannya. Apalagi keluargaku sedang ke Bandung dua hari itu. “So, wanna come in?” -to be continued- contact me at: stilettomanolo@yahoo.com

###

1 Gay Erotic Stories from Stiletto

My Sexy Taxi Driver

There's always something new in town. New clubs, new bags, and new men. Malam itu, aku baru saja melangkahkan kaki keluar menuju pintu utama dari Plaza Senayan. Usai menginap di rumah teman, aku memutuskan untuk mampir sebentar ke pusat perbelanjaan yang terletak di selatan Jakarta itu sebelum pulang ke rumah. Tak lama menunggu, sebuah taksi menghampiri dan aku langsung saja

###

Web-04: vampire_2.0.3.07
_stories_story